PELAYANAN TRANSPORTASI UDARA
DALAM MENDUKUNG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
(Pengembangan
Kargo Bandar Udara Maimun Saleh Sebagai Pintu Gerbang Kegiatan Perekonomian)
Junaidi
Ali
Kepala
Bidang Pengembangan Sistem dan Multimoda Dinas Perhubungan Aceh
Abstrak
Perencanaan
pengembangan suatu bandar udara sebagaimana terdapat dalam Tatanan Kebandarudaraan
Nasional saat ini mengedepankan pertimbangan Rencana Tata Ruang Wilayah yang
menjadi arahan bagi peran, fungsi manfaat dan hirarki bandar udara. Berjalan
tidaknya peran yang telah ditetapkan sangat ditentukan oleh tingkat keterkaitan
pengembangan fasilitas layanan bandar udara dengan pengembangan ekonomi wilayah
hinterlandnya. Akan tetapi, ketersediaan bandar udara secara nasional di
beberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum memberikan peran bagi
pengembangan potensi ekonomi wilayah. Pertimbangan terhadap Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat menjadi acuan dalam pengembangan
suatu bandar udara sebagaimana halnya Rencana Tata Ruang Wilayah agar peran
yang telah ditetapkan dalam tatanan kebandarudaraan dapat lebih optimal
dijalankan. Penelitian ini akan
mengkaji peran Bandar Udara Maimun Saleh Sabang sebagai pintu gerbang
perekonomian wilayah dengan menggunakan metode Location Quotient ditentukan
komoditas unggulan yang paling potensial untuk ekspor melalui pelayanan kargo
udara. Berdasarkan penentuan komoditas unggulan (kapasitas ekspor perekonomian)
dan derajat keswasembadaan (self-sufficiency) diperoleh bahwa kegiatan
perikanan merupakan kegiatan basis (basic activities) yang memiliki prospek
untuk dikembangkan, dengan memperhitungkan prediksi potensi ekspor perikanan
sebagai volume kargo rencana maka ditentukan tata letak terminal kargo yang
memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan.
Kata Kunci: wilayah pesisir,bandar udara, pelayanan kargo udara, komoditas
unggulan.
1.
Pendahuluan
Keberadaan bandar udara bukan hanya dinilai sebagai bagian dari fasilitas
transportasi udara, suatu bandar udara dapat melayani kebutuhan moda
transportasi udara dan
memberi efek lanjutan sebagai penggerak perekonomian wilayah. Sejalan hal tersebut, pengaturan
mengenai tatanan kebandarudaraan nasional telah diatur melalui Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor
69 Tahun 2013 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional yang diwujudkan dalam rangka
penyelenggaraan bandar udara yang andal, terpadu, efisien serta mempunyai daya
saing global,
serta
menunjang pembangunan dan perkembangan
ekonomi wilayah. Arahan kebijakan sesuai peraturan ini memperjelas bahwa peran bandar
udara tidak hanya sebagai simpul dalam jaringan
transportasi sesuai dengan hierarkinya tetapi juga sebagai pintu gerbang kegiatan
perekonomian.
Kegiatan perdagangan melalui transportasi udara dan
perkembangan ekonomi wilayah
saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Transportasi udara
memiliki nilai startegis bagi suatu wilayah terutama nilai ekonomisnya yang memberi tambahan
kesejahteraan hidup bagi masyarakat. Nilai ekonomis ini membuat transportasi menjadi penting dan semakin membutuhkan berbagai
macam kajian.
Kajian
kesesuaian peran bandar udara dengan pemanfaatan pengembangan ruang wilayah belum
menunjukkan pengaruh yang relevan terhadap perkembangan ekonomi wilayah secara
nasional, dan ini perlu mendapat perhatian. Perkembangan suatu wilayah tergantung dari ketersediaan sarana dan
prasarana transportasi, atau sebaliknya perkembangan transportasi suatu wilayah dipengaruhi oleh
perkembangan kegiatan perdagangan dari masyarakat dalam wilayah tersebut. Pengembangan kegiatan dan jaringan transportasi suatu
wilayah membutuhkan sinkronisasi untuk terciptanya keterpaduan ruangan (spasial intergration) secara menyeluruh dari
sumber daya yang ada mulai dari hulu, pesisir, sampai dengan laut lepas serta
keterpaduan antar kegiatan untuk pembangunan berkelanjutan.
Bandar Udara Maimun Saleh Sabang adalah salah satu
bandar udara yang berada dalam dua perencanaan kawasan yaitu rencana tata ruang
wilayah yang biasa dikenal dengan istilah tata
ruang daratan dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
biasa dikenal dengan istilah tata ruang
laut. Tatanan Kebandarudaraan Nasional menetapkan bandar udara ini sebagai
bandar udara internasional sebagai pendukung keberadaan Sabang sebagai Pusat Kawasan Strategis Nasional
(PKSN), kawasan perbatasan dan pulau-pulau terluar dan destinasi wisata
nasional. Hal ini menjadikan bandar udara Maimun
Saleh Sabang perlu dikembangkan sebagai pintu gerbang
perekonomian dan mendukung perkembangan ekonomi wilayah sesuai dengan tata
ruang daratan dan tata ruang laut.
1.1. Rumusan Masalah
Transportasi udara
yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
wilayah menjadi tujuan dari Tataran Transportasi Nasional dan keberadaan bandar
udara dalam mencapai tujuan tersebut perlu terus dievaluasi. Bandar Udara Maimun Saleh Sabang yang ditetapkan sebagai
pintu gerbang perekonomian belum
menunjukkan keterkaitan dengan pertumbuhan ekonomi wilayah, maka perlu dilakukan
suatu penelitian untuk menentukan prioritas arah pengembangan dengan kriteria
sebagai berikut: (1) Bagaimana mengembangkan potensi sektor unggulan dalam
pengembangan ekonomi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui sinergisitas
tata ruang daratan dengan tata ruang laut; (2) Bagaimana menentukan arah
pengembangan bandar udara untuk
mendukung optimalisasi perannya sebagai pintu gerbang perekonomian.
Ruang
lingkup penelitian
ini meliputi
tinjauan terhadap pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau
kecil, rencana tata ruang wilayah Aceh dan peran bandar udara dalam mendukung pertumbuhan ekonomi
wilayah. Potensi sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan difokuskan
pada komoditas unggulan yang menjadi potensi
sebagai dasar dalam pengembangan peran bandar udara.
1.2.Tujuan
Penelitian
Pengoptimalan
peran bandar udara
dalam pemanfaatan
potensi di kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil akan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Penelitian ini bertujuan merencanakan pengembangan fasilitas Bandar Udara Maimun
Saleh Sabang untuk mendukung pelayanan bandar udara
yang memenuhi standar keselamatan
dan keamanan penerbangan dengan memperhitungkan kegiatan basis ekonomi unggulan
sehingga terciptanya sinergisitas dalam perencanaan tata ruang daratan dan tata
ruang laut.
2. Tinjauan Pustaka
2.1.Rencana Tata Ruang Daratan
Tata ruang didefinisikan sebagai suatu proses kegiatan
dalam rangka menata dan menyusun bentuk struktur dan pola pemanfaatan ruang
secara efisien dan efektif. Tata ruang adalah wujud rencana struktur ruang dan
pola ruang, struktur ruang merupakan susunan pusat-pusat kegiatan dan sistem
jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial
ekonomi masyarakat secara hirarkhi yang memiliki hubungan fungsional.
Kegiatan-kegiatan ekonomi pada tata ruang
terkonsentrasi secara umum di daerah perkotaan. Pusat-pusat kegiatan ekonomi
pada perkotaan tersusun dan terstruktur secara hirarkis sesuai tingkat
kegiatan, prasarana pendukung dan kemampuan berkembangnya. Selain terstruktur
secara hirarkis kota-kota ini memiliki hubungan dan ketergantungan satu dengan
yang lain (Sakti Adji Adisasmita, 2011).
Sistem jaringan transportasi merupakan prasarana utama
pada struktur ruang wilayah. Jaringan transportasi menghubungkan antar pusat
kegiatan yang mendorong berkembangnya kutub-kutub pertumbuhan wilayah ekonomi
yang disebut conventional tree pattern/susunan
pohon (Sakti Adji Adisasmita, 2011). Dalam jaringan transportasi susunan pohon
dimaksud menggambarkan trayek atau rute pelayaran dan penerbangan dalam
kombinasi trunk routes (rute utama)
dan feeder routes (rute pengumpan).
2.2.Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menjelaskan
bahwa penataan ruang wilayah nasional meliputi tidak hanya ruang darat tetapi
juga ruang laut dan ruang udara yang diatur terpisah dengan undang-undang
tersendiri. Penataan ruang laut diatur dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Hal ini mungkin tidak berlebihan
mengingat Indonesia memiliki potensi/sumber daya wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan kelautan yang
sangat tinggi. Perencanaan tata
ruang laut ini bertujuan mengurangi konflik pemanfaatan ruang, menjamin ruang
laut untuk keanekaragaman hayati dan konservasi hayati serta penggunaan sumber
daya untuk produktivitas kegiatan perikanan serta sosial budaya masyarakat (Subandono
Diposaptono, 2016).
Pembangunan
nasional saat ini mengedepankan pemanfaatan sumber daya kelautan termasuk
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Perkembangan pertumbuhan ekonomi sektor kelautan di Indonesia terus
meningkat walaupun masih mengalami berbagai kendala. Salah satu kendala yang
paling mencolok adalah berbagai kegiatan tindakan ilegal
penangkapan ikan di laut seperti pencurian ikan, bongkar muat ikan (transshipment) di
tengah laut (Subandono Diposaptono, 2016). Namun demikian, berdasarkan
data Badan Pusat Statistik Indonesia menunjukkan produksi perikanan yang terus
meningkat, data tahun 2015 memperlihatkan adanya peningkatan yang sangat tajam
terutama pada subsektor perikanan budidaya seperti diperlihatkan pada tabel 1
dibawah ini.
Sumber: Badan Pusat Statistik
Indonesia 2015
Peningkatan dan pengendalian
produksi perikanan diatur dalam suatu perencanaan tata ruang laut yang berupa
dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Pemanfatan
potensi perikanan diarahkan untuk mensejahterakan masyarakat dan bersentuhan
langsung dengan rencana tata ruang daratan. Dalam hal ini, rencana struktur
jaringan transportasi dan alokasi ruang diselaraskan, diserasikan dan
diseimbangkan antara RTRW dengan RZWP3K. Struktur jaringan
transportasi pada tata ruang daratan tidak hanya terfokus pada pengembangan
sumber daya yang ada di daratan, tetapi juga mengutamakan pemanfaatan sumber
daya kawasan pesisir secara terpadu.
2.3.Peran Bandar Udara untuk Pengembangan Ekonomi Wilayah
Berdasarkan
Glasson J (1977), perekonomian wilayah
dapat dibagi menjadi dua sektor, yaitu kegiatan basis dan kegiatan bukan basis.
Kegiatan-kegiatan basis (basic
activities) adalah kegiatan-kegiatan
yang mengekspor barang dan jasa ke tempat di luar batas perekonomian masyarakat
yang bersangkutan, atau yang memasarkan barang dan jasa kepada orang-orang yang
datang dari luar batas
perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Kegiatan-kegiatan bukan basis (non-basic activities) adalah
kegiatan-kegiatan yang menyediakan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang-orang
yang bertempat tinggal di dalam batas perekonomian masyarakat yang
bersangkutan.
Pengaruh
pertumbuhan kegiatan ekonomi dengan keberadaan bandar udara bagi suatu wilayah
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain dampak langsung (Indirect Impact) dan dampak tidak
langsung (Induced Impact), pengaruh
tersebut dapat menjadi kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi wilayah.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah terutama terjadi dalam hal pertumbuhan
perdagangan, pariwisata, hubungan langsung dengan negara lain dan peluang dunia
usaha (Hadi Suharno, 2015). Dampak langsung adalah dampak yang dihasilkan dari
kegiatan yang memiliki keterhubungan dengan berfungsinya bandar udara meliputi kegiatan perusahaan penerbangan, biro
perjalan, perusahaan catering, perusahaan perawatan dan perbengkelan, biro jasa
pengiriman barang, perusahaan property
dan lain-lain. Dampak tidak langsung dihasilkan dari kegiatan yang memiliki
keterkaitan dengan bandar udara.
Selain
itu terdapat juga dampak ikutan dari adanya tambahan perputaran uang dari
pengaruh adanya lapangan pekerjaan, meliputi hubungan antar sektor dari ekonomi
regional, efek berantai terhadap perekonomian regional. Dampak katalis adalah bandar udara menjadi suatu daya tarik tersendiri terlepas dari kegiatan
di bandar udara tetapi dari keuntungan layanan bandar udara. Wilayah
pesisir berpeluang memanfaatkan prasarana bandar udara untuk mengembangkan
komuditas unggulan.
Penentuan
komoditas unggulan kawasan pesisir dimaksudkan dengan tujuan efisiensi dan
peningkatan pendapatan daerah. Efisiensi bisa didapatkan dengan menggunakan
komoditas yang memiliki keunggulan dan
bersaing
ditinjau dari penawaran dan permintaan (eksport)
. Dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh kualitas dalam
pertumbuhan pada kondisi biofisik, teknologi dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat yang dapat meningkatkan pendapatan. Dari sisi permintaan, komoditas
unggulan dicirikan oleh kuatnya permintaan di pasar domestik maupun
internasional (Dahuri R, 2000).
Komuditas unggulan dinilai melalui kegiatan yang merupakan
basic activities
dan non-basic
activities sehingga
dijadikan petunjuk adanya kelayakan suatu komoditas berpotensi untuk ekspor, Metode
Location
Quotient (LQ) paling
lazim digunakan dalam studi-studi basis ekonomi. Teori LQ dipergunakan sebagai
teknik yang mambantu dalam menentukan kasitas ekspor perekonomian wilayah dan
derajat keswasembadaan (self-suffiency),
pada intinya merupakan identifikasi kegitan-kegiatan basis yang menghasilkan komoditas
unggulan untuk memenuhi kebutuhan di dalam daerah maupun untuk pasar di luar
wilayah, dengan demikian penjualan dapat mendatangkan arus pendapatan ke dalam wilayah
tersebut.
2.4.Tatanan Bandar Udara dan Pengembangan Angkutan Kargo Udara
Tatanan
Kebandarudaraan Nasional didefinisikan sebagai sistem kebandarudaraan secara
nasional yang menggambarkan perencanaan pengembangan bandar udara didasarkan
atas beberapa factor pertimbangan yaitu rencana tata ruang wilayah, pertumbuhan
ekonomi wilayah hinterlandnya, sektor
ekonomi unggulan, kondisi alam dan geografi, keterpaduan intra dan antar moda
transportasi, kelestarian lingkungan, keselamatan dan keamanan penerbangan,
serta keterpaduan dengan kegiatan pembangunan lainnya.
Tatanan
Kebandarudaraan Nasional memberikan arahan dan pedoman bagi pengembangan bandar
udara yang mengatur peran, fungsi, penggunaan, hierarkhi, dan klasifikasi
penyelenggaraan operasional bandar udara. Mentetapkan peran masing-masing
bandar udara. Peran yang ditetapkan tersebut yaitu simpul jaringan
transportasi, pintu gerbang ekonomi, tempat alih moda, pendorong industri dan
perdagangan, membuka isolasi wilayah dan memperkukuh wawasan nusantara. Dalam
kaitannya sebagai sistem jaringan pelayanan, bandar udara dibedakan
penggunaannya sebagai bandar udara internasional dan domestik, serta hierarkhi
bandar udara sebagai pengumpul (hub)
dan pengumpan (spoke). Lebih lanjut
memperhatikan bahwa bandar udara berfungsi melayani kegiatan penerbangan yang
menghubungkan antar bandar udara, maka pelayanan bandar udara harus dikelola
secara kesisteman (Sakti Adji Adisasmita, 2014).
Pembangunan bandar udara dilengkapi rencana detail
yang berpedoman pada rencana induk (masterplan) jangka panjang dan sesuai
dengan kebutuhan pengembangan. Pelaksanaan pembangunan bandar udara
memperhatikan beberapa aspek antara lain teknis, ekonomi finansial,
transportasi udara, operasional, tata ruang dan lingkungan. Aspek tata ruang
sangat terkait dengan penentuan lokasi, kebutuhan peruntukan lahan serta
rencana pengembangan. Salah satu bahagian dari rencana pengembangan adalah
peningkatan pelayanan kargo udara.
Pengembangan pelayanan kargo udara ditentukan oleh
persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan, konsep tata ruang serta sistem
operasi. Istialah Cargo atau Kargo adalah semua barang (goods) yang dikirim
melalui udara (pesawat terbang), laut (kapal), atau darat (truk container) yang
biasanya untuk diperdagangkan, baik antar wilayah di dalam negeri maupun antar negara
(internasional) yang dikenal dengan istilah ekspor-impor (Suharto Abdul Majid dan
Eko Probo D. Warpani, 2014). Berdasarkan
cara penanganannya, kargo dibagi ke dalam dua golongan besar, yaitu general cargo dan special cargo. General cargo adalah barang-barang kiriman biasa sehingga tidak
memerlukan penanganan secara khusus, namun tetap harus memenuhi persyaratan keselamatan
penerbangan. Sedangkan jenis barang special cargo pada dasarnya
dapat diangkut lewat angkutan udara dan harus memenuhi persyaratan dan
penanganan secara khusus. Ruangan kargo pada bagian pesawat terbang yang
digunakan untuk menyimpan barang penumpang maupun barang muatan (kiriman) harus
tetap memperhatikan aspek-aspek keamanan dan keselamatan penerbangan (Desmond
Hutagoal, 2013).
Standar
teknis yang dipergunakan untk terminal kargo bandar udara memperhitungkan
factor kompabilitas, fleksibelitas, ekspansibilitas dan aksesibilitas, serta
pertimbangan terhadap Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan. Standar ini juga
mengacu pada dasar-dasar perencanaan kargo yang meliputi persyaratan
keselamatan dan keamanan penerbangan, konsep tata ruang serta sistem operasi.
3. Metodologi
Penelitian
Upaya
sinergisitas tata ruang daratan dengan tata ruang laut dilakukan dengan
menganalisis regulasi dan kebijakan dalam bidang penataan ruang, transportasi
dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, analisis ini diarahkan
untuk mengevaluasi keterpaduan dalam rangka mendukung pengembangan ekonomi
wilayah. selanjutnya Analisis LQ digunakan untuk menghitung potensi komoditas unggulan dari hasil
pemanfaatan sumber daya alam pada kegiatan-kegiatan
pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan dan pariwisata pada
beberapa wilayah dan dapat diketahui wilayah mana yang paling potensi untuk
produk-produk tertentu sehingga dapat ditetapkan sebagai wilayah basis atau non
basis. Potensi internal yang
dimiliki suatu wilayah dapat ditentukan dari kondisi basic activities dan non-basic activities.
Pada dasarnya teknik ini menyajikan perbandingan relatif antara kemampuan satu kegiatan pada wilayah
yang diselidiki dengan kemampuan
kegiatan yang sama pada wilayah yang lebih luas.
Perbandingan relatif ini dapat dinyatakan secara matematika sebagai berikut
(Warpani, 2001) :
Dimana :
LQ : Nilai
Location Quotient
vi : Pendapatan sektor i disuatu wilayah
Vt : pendapan total wilayah tersebut
xi : Pendapatan sektor i sejenis secara regional/nasional
Xt : Pendapatan regional/nasional
Satuan yang dapat digunakan untuk
menghasilkan koefisien dapat menggunakan satuan jumlah buruh, atau hasil
produksi atau satuan lain yang dapat digunakan sebagai kriteria (Warpani, 2001). Asumsi untuk pola permintaan dan tingkat konsumsi
suatu jenis barang dianggap rata-rata sama antar daerah, demikian juga
produktivitas dan keperluan untuk produksi. Kriteria yang digunakan adalah LQ
> 1, berarti merupakan basic
activities, menunjukkan kegiatan
tersebut basis yang memiliki prospek yang menguntungkan untuk dikembangkan (komoditi
unggulan yang berpotensi ekspor) dan LQ < 1, berarti
non-basic activities , kegiatan non basis kurang menguntungkan untuk
dikembangkan serta belum memenuhi permintaan dalam daerah (sektor
lokal/impor). Perhitungan laju pertumbuhan
komoditi unggulan dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut :
Dimana :
R =
Laju Pertumbuhan (ton)
Prt = Produksi tahun terakhir (ton)
Pp = Produksi tahun dasar (ton)
t
= Selisih tahun terakhir dan
tahun dasar
Tabel. 2 Perhitungan Luas Terminal Kargo
Sumber:Keputusan Direktur
Jenderal Perhubungan Udara No. SKEP/77/VI/2005
Berdasarkan
data pertumbuhan komoditi unggulan dapat diproyeksikan potensi ekspor, potensi
tersebut dijadikan dasar sebagai volume kargo rencana dalam perhitungan
kebutuhan luas fasilitas kargo yang diperlukan di bandar udara. Pendekatan
konseptual berpedoman pada penyusunan tata letak, serta rancangan (design) masing-masing fasilitas bandar udara sebagaimana
diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal
Perhubungan Udara No. SKEP/77/VI/2005. Perhitungan luas terminal
kargo dilakukan dengan menggunakan persamaan seperti terlihat dalam tabel 2.
Bangunan terminal
kargo bandar udara sebagai
fasilitas yang digunakan untuk kegiatan bongkar muat barang (kargo) udara untuk memproses pengiriman dan peneriaan muatan udara
baik domestik maupun internasional yang bertujuan untuk kelancaran proses kargo
serta memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan, secara umum
keamanan yang berkaitan dengan kargo meliputi tiga daerah pengamanan yaitu
lahan parkir dan apron di terminal kargo, terminal kargo dan kargo. Agar memenuhi
persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan maka perhitungan kebutuhan
lahan harus mengikuti koefisien volume kargo dan kedalaman standar seperti
dalam tabel 3 berikut.
Tabel.
3 Koefisien Volume Kargo dan Kedalaman Standar
Sumber: Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. SKEP/77/VI/2005
4. Pembahasan
4.1.
Analisa Regulasi dan Kebijakan
Pembangunan Ekonomi Wilayah
Perencanaan pembangunan nasional berpijak pada pedoman
perencanaan yang bersifat spasial dan non spasial. Secara spasial, instrumen
perencanaan diatur dalam dua undang-undang terpisah yaitu Undang-undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-undang nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kedua peraturan ini
memiliki batasan pemanfaatan wilayah yang berbeda, yaitu kawasan daratan dan
kawasan pesisir serta pulau-pulau kecil. Kedua aturan tersebut dalam
penjabarannya perlu memperhatikan keselarasan, keserasian dan keseimbangan.
Perencanaan pembangunan prasarana transportasi sangat
dominan dipengaruhi oleh kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah. Berpedoman pada Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, sistem
jaringan transportasi merupakan prasarana utama dari struktur ruang wilayah.
Pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki regulasi yang berbeda
secara pemanfaatan ruang yang semestinya juga mendapat perhatian penting dalam
perencanaan prasarana transportasi. Terdapatnya prasarana transportasi seperti
bandar udara di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan memberi aspek
pertimbangan tambahan bagi pengembanganbandar udara. Sudut pandang yang berbeda
dari perencanaan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam
melihat keberadaan bandar udara akan memberi pemahaman yang komprehensif dalam
peningkatan peran.
Kelemahan saat ini, peran bandar udara yang terdapat
di wilayah pesisir biasanya memberi pemahaman bahwa potensi yang ada hanya
berasal dari wilayah daratan. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil (RZWP3K) merupakan regulasi yang mengatur penggunaan ruang spasial bagi
wilayah pesisir dan pulau pulau kecil, dengan salah satu tujuannya adalah
peningkatan perekonomian wilayah tersebut. RZWP3K bermaksud mendorong
pertumbuhan ekonomi berbasis maritim melalui pemanfaatan sumber daya yang
tersedia. Bandar udara yang berperan sebagai pintu gerbang ekonomi akan lebih
optimal dengan memberi dukungan terhadap perekonomian wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil.
Kurang berperannya Bandara Maimun Saleh menunjukkan
indikasi kurangnya keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara pengembangan
zonasi wilayah pesisir di Kota Sabang dan Pengembangan struktur ruang wilayah
daratan. Upaya menyelaraskan, menyerasikan dan menyeimbangkan dapat dilakukan
melalui mengadopsi pola ruang dan struktur ruang daratan ke dalam rencana
zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, menyerasikan alokasi ruang
perairan yang bersinggungan dengan rencana tata ruang daratan.
Provinsi Aceh saat ini sedang menyelesaikan draf
rancangan RZWP3K. Tinjauan pada draf rancangan RZWP3K Aceh (2014), dapat
diketahui bahwa Kota Sabang diarahkan untuk dapat mengalokasikan ruang bagi
Kawasan Industri yang terkait dengan perikanan yang terdiri atas: industri
pengolahan produk perikanan, kapal tradisional, bengkel/docking dan
pergudangan, dan tipe pelabuhan perikanan yang diarahkan adalah Pelabuhan
Perikanan Pantai. Arahan kebijakan tersebut jelas memberi perhatian lebih
terhadap industri perikanan. Tinjauan terhadap Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013
tentang RTRWA menunjukkan tidak adanya arahan alokasi ruang bagi pemanfaataan
industri perikanan di Kota Sabang, dan arahan hanya pada pengembangan industri
galangan kapal. Dapat disimpulkan bahwa, masih terdapat kelemahan secara umum
dalam keselarasan, kesesuaian dan keseimbangan antara RTRWA dan Draf Rancangan RZWP3K
Aceh dimana secara struktur ruang peningkatan peran dari bandar udara Maimun
Saleh akan terhambat.
Bandar Udara Maimun Saleh walaupun telah ditetapkan
sebagai Bandar Udara Internasional, akan tetapi operasional bandar udara
tersebut masih terbilang sangat sedikit. Sebagai gerbang ekonomi, bandar udara
tersebut belum dimanfaatkan sebagai sarana angkut barang/kargo. Bandar Udara
Maimun Saleh telah memiliki landasan sepanjang 1850 x 30 M, dengan luas Appron
sebesar 140 x 90 M dan mampu didarati oleh pesawat sejenis Fokker 27 dan
terminal yang tersedia adalah hanya terminal Domestik seluas 1600 M2, secara
umum masih sangat kecil volume operasional penerbangan sipil yang berjalan di
bandar udara ini.
Kerjasama subregional Indonesia - Malaysia - Thailand Growth Triangle (IMT-GT) yang dibentuk pada tahun 1993 semestinya memberikan
peluang bagi peningkatan peran bandar udara Maimun Saleh. IMT-GT membentuk kerjasama untuk penguatan ekonomi
antar tiga negara yang melibatkan beberapa provinsi
di masing-masing negara anggota. Salah satu koridor ekonomi yang potensial di
kawasan selat malaka adalah Koridor V yang menghubungkan antara Ranong
(Thailand) - Phuket (Thailand) - Aceh (Indonesia). Strategi pengembangan wilayah tertuang dalam Impelementation Blueprint (IB) 2012 – 2016, antara lain rencana pengembangan angkutan udara (air lingkages) antara kedua kawasan. Provinsi Aceh dalam beberapa konferensi telah mengajukan usulan baru yaitu pembukaan rute penerbangan dari Phuket/Krabi – Sabang (Bandar Udara
Maimun Saleh). Pembukaan rute penerbangan ini
diharapkan akan mampu mendorong perekonomian wilayah Sabang.
Perhitungan terhadap kegiatan perekonomian unggulan
Kota Sabang dengan menggunakan metode LQ yang berdasarkan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) atas dasar perubahan harga diperoleh kegiatan pariwisata
pada tahun 2011 cenderung mempunyai
konstribusi terhadap basic activities
sebesar 1,57, selanjutnya adalah kegiatan perikanan sebesar 1,46. Pada tahun
2012 sampai tahun 2013 kegiatan perikanan cenderung menurun hal ini disebabkan
fasilitas sarana dan prasarana yang kurang memadai, sedangkan pada tahun 2014
sampai 2015 kegiatan pariwisata di kota
sabang lebih stagnan sebesar 1,66 dan diikuti oleh kegiatan perikanan sebesar
1,38 artinya produksi kegiatan perikanan di Kota Sabang merupakan basic activities seperti diperlihatkan
pada tabel 4 dibawah ini.
Tabel 4. Perhitungan LQ Kegiatan Perekonomian Kota Sabang
Sumber : Hasil Analisa (Badan Pusat Stastistik Provinsi
Aceh, 2016)
Perencanaan
tata ruang daratan belum
sepenuhnya mengikuti fokus dari tata ruang di
pesisir, zonasi wilayah pesisir diarahkan untuk menyatukan
kegiatan-kegiatan yang sinergis dan saling mendukung serta memilah kegiatan
yang bertentangan (imcompatibel).
Pada wilayah
yang telah ditetapkan maka perlu diprioritaskan
pengembangan prasarana
pendukung kegiatan-kegiatan yang mendorong
perekonomian wilayah pesisir tersebut. Kegiatan perikanan sesuai analisis diperoleh nilai LQ
> 1, dengan demikian kegiatan perikanan memiliki prospek
untuk dikembangkan sebagai komoditi ekspor melalui bandar udara.
Pembangunan
ekonomi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memerlukan arah kebijakan dan
solusi yang lebih
komprehensif terhadap permasalahan perikanan, menghidupkan industri pengolahan
dalam negeri bisa
dilakukan dengan membangun lebih banyak gudang pendingin, pemberdayaan koperasi
dan pengusaha lokal. Pengembangan bandar udara untuk mengangkut produksi perikanan langsung ke negara pembeli
harus menjadi prioritas,
disebabkan minimnya
jumlah gudang pendingin dan tidak
tersedianya
prasarana pelayanan kargo dijadikan
dalih oleh pengusaha untuk melakukan transshipment
(Majalah Tempo, 4 -10 April
2016).
Provinsi
Aceh belum memiliki Bandar Udara yang fokus pada ekspor kargo perikanan, rencana
pengelolaan dan pengembangan kegiatan perikanan Aceh sesuai Rencana Induk
Pelabuhan Perikanan Aceh ditetapkan dalam dua wilayah pengelolaan yang mengacu
pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.01/MEN/2009 Tentang Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yaitu Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP) yaitu WPP-RI 571 dan WPP-RI 572. Bandar Udara Maimun Saleh dapat menjadi
HUB kegiatan ekspor perikanan dengan memanfaatkan potensi perikanan pada dua
bahagian wilayah tersebut sebagaimana gambar 1 berikut:
Sumber : Dinas Kelautan dan
Perikanan Aceh
Gambar. 1 Wilayah
Pengelolaan Perikanan
4.2. Produksi
Perikanan
Kegiatan Perikanan di kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil memiliki kelebihan untuk dapat dijadikan kegiatan unggulan
(leading sector) atau
basis bagi peningkatan ekonomi suatu wilayah. Karakteristik unggulan kegiatan perikanan antara
lain menyerap sumber daya manusia, penghasil devisa, mampu meningkatkan
pertumbuhan investasi serta penyerapan modal, bersifat forward and backward
linkages atas potensi yang ada.
Rencana Induk Perikanan Aceh menyebutkan bahwa secara geografis Provinsi
Aceh terletak pada pertemuan antara Selat Malaka dan Andaman serta Samudera
Hindia yang memiliki potensi perikanan
tangkap sebesar 220.090 ton dan ZEE sebesar 203.320 ton, sedangkan potensi
lestari atau maksimum sustainanble yield (MSY) perairan teritorial dan
kepulauan diperkirakan sebesar 110.045 ton dan ZEE sebesar 162.656 ton, sedang
tingkat pemanfaatan keseluruhan mencapai 142.697,4 ton atau 52,33% (tahun
2010), sehingga terdapat peluang pengembangan sebesar 47,67%.
Perkiraan proyeksi perikanan untuk periode jangka pendek, jangka
menengah dan jangka panjang berdasarkan series data produksi tahun 2010 – 2014.
Pada tahap awal dengan memperkirakan jumlah penduduk yang mencakup Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP-RI 571) merupakan wilayah timur yang mencakup
perairan selat malaka dan andaman, sedangkan Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP-RI 572) yang merupakan bagian barat mencakup Samudera Hindia. Selanjutnya analisa
tingkat konsumsi perikanan perkapita untuk masyarakat provinsi Aceh dihitung
dengan metode perhitungan konsumsi ikan berdasarkan ketersediaan ikan yang
dipublikasikan oleh Food and Agriculture
Organization of the United Nation dalam The
State of World Fisheries and Agriculture tahun 2014 dan skenario
pertumbuhan kegiatan perikanan didasarkan pada besaran prosentase laju
pertumbuhan.
Potensi
kegiatan perikanan untuk WPP-RI 571 yang mempunyai potensi ekspor ikan cukup
besar yaitu Kabupaten Aceh Timur sebesar 10.308,00 ton/tahun dengan tingkat
konsumsi sebesar 16.298,88 ton/tahun, diikuti Kota Langsa dengan tingkat
potensi ekspor sebesar 6.697,7 ton/tahun dan tingkat konsumsi sebesar 6.719,33
ton/tahun. Wilayah dengan tingkat konsumsi yang rendah diartikan sebagai
wilayah yang mampu mencukupi kebutuhan ikan dengan produksinya. Tingkat
konsumsi terendah ada di Kota Sabang sebesar 1.351,14 ton/tahun sehingga
memiliki potensi ekspor sebesar 6.003,3 ton/tahun.
Sumber : Hasil olahan (Badan
Pusat Stastistik Provinsi Aceh, 2015 dan Rencana Induk
Pelabuhan
Perikanan Satker Dinas Kelautan dan Perikanan, 2012)
Wilayah pengelolaan perikanan
RI 572 yaitu Kabupaten Aceh Barat mempunyai potensi eksport perikanan sebesar
5.689,3 ton/tahun dengan tingkat konsumsi sebesar 7.850,54 ton/tahun, wilayah
tersebut mampu mencukupi kebutuhan, kondisi ini sama halnya kabupaten Aceh
Barat Daya dengan potensi ekspor 4.974,4 ton/tahun dengan tingkat konsumsi
sebesar 5.701,04 ton/tahun dan Kabupaten Aceh Selatan sebesar 3.814,6
ton/tahun. Wilayah dengan tingkat konsumsi yang tinggi dan potensi ekspor yang
lebih rendah yaitu di Kabupaten Aceh Besar dan Banda Aceh, hal ini ditandai
dengan pertumbuhan penduduk yang lebih besar dibandingkan kabupaten/kota di
wilayah tersebut.
Sumber : Hasil olahan (Badan
Pusat Stastistik Provinsi Aceh, 2015 dan Rencana Induk
Pelabuhan Perikanan Satker
Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, 2012)
Laju pertumbuhan kegiatan perikanan pada WPP-RI 571 cukup berfluktuasi
dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014, kecenderungan perubahan terjadi pada
tahun 2013 sebesar 10,041 ton/tahun naik dari tahun sebelumnya 3.739 ton/tahun,
sedangkan pada tahun 2014 naik menjadi produksi 10,260 ton/tahun.
Tabel 7. Prediksi
Perikanan pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP-RI 571)
Sumber : Hasil olahan (Badan Pusat Stastistik Provinsi Aceh, 2015
dan Rencana Induk
Pelabuhan Perikanan Satker
Dinas Kelautan dan Perikanan, 2012)
Bila dibandingkan dengan WPP-RI 572) yaitu wilayah Barat Provinsi Aceh
jauh lebih rendah dan sangat berfluktuatif disebabkan terbatasnya sarana dan
prasarana. Pada Tahun 2012 terjadi penurunan potensi ekspor dari tahun
sebelumnya sebesar 248 ton/tahun, sedangkan tahun 2013 terjadi kenaikan sebesar
3.438 ton/tahun dan tahun 2014 sebesar 6.669 ton/tahun.
Tabel 8. Prediksi
Perikanan pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP-RI 572)
Sumber : Hasil olahan (Badan Pusat Stastistik Provinsi Aceh, 2015
dan Rencana Induk
Pelabuhan Perikanan Satker
Dinas Kelautan dan Perikanan, 2012) Skenario pertumbuhan pada gambar 2 diperkirakan berdasarkan proyeksi
pertumbuhan maksimum potensi ekspor perikanan tangkap dan budidaya dapat
mencapai 35.632,8 ton/tahun pada tahun 2025, dengan tingkat pertumbuhan
7%/tahun sedangkan pada pada kondisi moderat pada tahun yang sama mencapai 27.473,5
ton/tahun dengan tingkat pertumbuhan 4,5%/tahun dan 19.941,4 ton/tahun pada
kondisi pesimistik dengan pertubuhan terendah senilai 1,5%/tahun.
Gambar 2. Proyeksi
Pertumbuhan Ekspor Perikanan Tangkap dan Budidaya
Kenaikan tersebut dapat menjadi lebih siginifikan bila
dibandingkan prospek pemasaran yang cukup baik, hal tersebut dikarenakan : (1) Peningkatan
konsumsi ikan nasional sangat ditentukan oleh
pertambahan penduduk, pola konsumsi, tingkat pendapatan, tingkat harga
di pasaran; (2) Kapasitas suplai yang besar akibat dari jumlah permintaan yang
meningkat didukung dengan ketersediaan sistem pengemasan/pengepakan dan
pengiriman; (3) Produksi perikanan merupakan sifat yang dapat diperbaharui,
sehingga mendukung pembangunan yang berkelanjutan; (4) Mampu menyerap tenaga
kerja dalam jumlah yang besar, baik dari hulu maupun ke hilir.
4.3.Pelayanan Kargo Udara dalam Mendukung Ekspor Produksi Perikanan
Konsep
tata ruang fasilitas bandar udara harus memenuhi persyaratan keselamatan dan
keamanan penerbangan agar dapat beroperasi sesuai fungsinya. Secara fungsional
terminal kargo mempunyai konsep ruang konversi, penyortiran, penyimpanan dan
pemeriksaan. Fungsi konversi untuk menampung pertukaran moda dari sisi darat ke
sisi udara atau sebaliknya dalam rangka penanganan kargo, penyotiran merupakan
pemisahan muatan-muatan kargo berdasarkan tujuan, penyimpanan berfungsi untuk
keperluan kargo yang mempunyai waktu simpan maksimal serta fungsi pemeriksaan
sebagai akibat adanya pemindahan bahan kargo dari moda transportasi darat ke
moda transportasi udara atau sebaliknya yang membutuhkan kelengkapan
administrasi yang terkait
fungsi Pemerintahan.
Proses pengiriman dan penerimaan muatan udara
dilaksanakan dengan memanfaatkan fungsi terminal kargo, kebutuhan luas area
sisi darat dan sisi udara terminal kargo dapat dihitung dengan menggunakan
pedoman fasilitas terminal kargo. Berdasarkan prediksi hasil perikanan pada
tahun 2025 diperoleh potensi ekspor perikanan Aceh, maka volume rencana kargo
yang digunakan adalah proyeksi pada kondisi optimis sejumlah 35.632,8 ton/tahun. Penggunaan
kondisi optimis dengan pertimbangan bahwa potensi yang sangat besar pada
kegiatan perikanan dan tersedianya rencana induk pengembangan, potensi yang
paling besar adalah memperhatikan kondisi alam dengan mengembangkan kegiatan
perikanan budidaya.
Penentuan
tata letak terminal kargo mempunyai konsep ruang yang menampung pertukaran moda
dari darat ke sisi udara atau sebaliknya dalam rangka penanganan kargo,
pemisahan muatan kargo berdasarkan tujuan, penyimpanan kargo dan fungsi
pemeriksaan. Tata letak dipengaruhi sistem sirkulasi kargo mulai dari proses
pemuatan/penurunan kargo antara pesawat terbang kargo dan pesawat terbang
kombinasi (penumpang dan kargo) harus dipisahkan. Sirkulasi kargo dari pesawat
ke terminal kargo dan sebaliknya harus lancar dan melalui rute terpendek,
selain itu akses menuju terminal kargo baik dari apron maupun sisi darat harus
langsung dan nyaman. Halangan yang bersifat fisik diantara proses ekpor dan impor
sedapat mungkin dihindari, dengan menggunakan peta tata ruang Kota Sabang dan informasi
fasilitas yang tersedia di Bandar Udara Maimun Saleh Sabang dilakukan
pembuatan data geospasial bandar udara untuk menentukan titik
koordinat pada citra satelit sehingga dapat ditentukan tata letak arah pengembangan
terminal kargo sesuai gambar 3 berikut.
Gambar.
3 Pengembangan Kargo Bandar Udara Maimun Saleh Sabang
Berdasarkan Persyaratan
Teknis Pengoperasian Fasilitas Teknik Bandar Udara yang diatur dalam Peraturan
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor: SKEP/77/VI/2005, penentuan bentuk
terminal kargo yang memiliki volume kargo rencana lebih besar dari 10.000
ton/tahun harus direncanakan secara terpisah dari fasilitas terminal penumpang.
Hasil perhitungan setelah melakukan interpolasi terhadap nilai Unit Luasan
Gedung maka diperoleh kebutuhan luas total terminal kargo seluas 16.471
m2, dengan rincian luas gudang airline 2.534 m2, luas gudang agen kargo
1.267 m2, luas area sisi darat 10.136 m2 dan luas area
sisi udara 2.534 m2. Khusus luas area sisi darat masih menggunakan
kedalaman standar maksimum 40 meter.
Rencana
pengembangan terminal
kargo yang terpisah
dari Terminal penumpang membutuhkan ketersedian jalur GSE (Ground Support Equipment) bagi keselamatan dan keamanan
penerbangan. Jalur GSE merupakan area yang disediakan sebagai tempat lalu
lintas pergerakan peralatan penunjang pendaratan pesawat udara dan penerbangan
yang terletak diantara apron dan teminal. Dengan mempertimbangkan hasil
perhitungan volume kargo yang lebih besar dari 10.000 ton/tahun, maka kedalaman standar sisi udara adalah sebesar 10 meter,
oleh sebab itu rencana jalur GSE pada pengembangan
Terminal Kargo Bandar Udara Maimun
Saleh harus diperhitungkan. Pertimbangan terinci jalur GSE dapat dilakukan dalam
Detail Design, untuk keperluan tersebut membutuhkan pengukuran topografi secara
akurat, tata letak terminal kargo Bandar Udara Maimun Saleh Sabang
diperlihatkan pada gambar 4 berikut.
Jalur
GSE sangat bergantung pada jenis pesawat yang akan dilayani, penilaian
kelayakan operasional meliputi panjang dan lebar (dimension), kemiringan memanjang (Longitudinal slope), kemiringan melintang (Transverse Slope), jenis perkerasan (Surface Type), dan kekuatan (Strength)
landasan dan apron. Aspek keselamatan dan keamanan pada jalur GSE
bertujuan untuk mengatur pengoperasian proses loading/unloading kargo dari dan menuju pesawat udara dengan
menghindari adanya kecelakaan dan kerusakan barang kargo.
5.
Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan
a. Sinergisitas tata ruang
daratan dan tata ruang laut dalam berbagai sektor dan administrasi pemerintahan
akan mampu mengembangkan ekonomi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan
mempertimbangkan komoditi unggulan pada suatu wilayah. Program kerjasama IMT-GT
yang merencanakan pembukaan rute penerbangan
dari Phuket/Krabi
(Thailand) - Sabang (Indonesia) dan Langkawi (Malaysia) - Sabang (Indonesia) dapat menjadi
peluang untuk mengoptimalkan peran bandar udara sebagai pintu gerbang
perekonomian
b. Berdasarkan analisis LQ kegiatan
perikanan wilayah sabang merupakan kegiatan basis (basic
activities) yang
memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai komoditi ekspor. Produksi perikanan
tangkap dan budidaya dalam wilayah Aceh masih memiliki peluang yang sangat
besar sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi wilayah.
c. Peningkatan peran Bandar Udara
Maimun Saleh Sabang dapat diarahkan dengan menetapkan prioritas pengembangan
angkutan udara kargo dengan komoditas unggulan berupa produksi perikanan. Hasil
perhitungan prediksi volume rencana kargo menunjukkan bahwa pengembangan bentuk
terminal kargo Bandar Udara Maimun Saleh Sabang harus direncanakan terpisah
dari fasilitas terminal penumpang, hasil identifikasi menunjukkan masih
tersedia lahan yang cukup untuk keperluan pengembangan tersebut. Dalam
pengembangan terminal kargo, tetap memperhatikan aspek keamanan dan keselamatan
penerbangan.
5.2. Saran
a. Praturan Menteri Perhubungan
Nomor 69 Tahun 2013 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional seharusnya juga
memasukkan pertimbangan terhadap tata ruang laut untuk bandar udara yang
mendukung pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hirarkhie terhadap
prasarana bandar udara dan pengembangan jaringan kargo udara semestinya juga
mendapat perhatian dalam penyusunan Tatanan Kebandarudaraan Nasional.
b. Pengembangan produksi
perikanan tangkap dan budidaya di wilayah Aceh dapat dijadikan prioritas untuk
meningkatkan perekonomian. Perlu dilakukan studi detail kebutuhan ekspor hasil
perikanan untuk mendukung program kerjasama regional.
Adanya kemungkinan kombinasi kegiatan ekspor perikanan dengan kegiatan
pariwisata sebagai penguatan peran bandar udara masih membutuhkan studi
kelayakan ekonomi lebih lanjut.
c. Tata letak dan sirkulasi serta
peralatan penunjang pada area GSE di Bandar Udara Maimun Saleh Sabang perlu
dilakukan detail engineering design
sesuai rencana pengembangan angkutan kargo udara dengan komoditi ekspor
perikanan.
Daftar Pustaka
_____________________________________,
[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh,
2015
Budiharsono S. 2005. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta: PT Pradnya Paramitha.
Dahuri, R, 2000. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset
Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Gramedia, Jakarta.
Desmond
Hutagoal, 2013, Pengantar Penerbangan, Perspektif Profesional, Penerbit
Erlangga, Jakarta
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Aceh, Rencana Induk Pelabuhan
Perikanan Aceh, 2013
Glasson J. 1977. Pengantar Perencanaan Regional. Sitohang P. Penerjemah. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Terjemahan
dari Introduction of Regional Planning.
Gulo, W. 2005. Metodologi Penelitian. Cetakan 4. Jakarta. Grasindo
Hadi Suharno, 2015, Manajemen dan Perencanaan Bandar Udara, Rajawali Pers, Jakarta
Sakti Adji Adisasmita, 2011, Jaringan Transportasi, Teori dan Analisis, Graha Ilmu, Jakarta
Sakti Adji Adisasmita, 2014, Tataran Bandar Udara Nasional, Graha Ilmu, Jakarta
Subandono Diposaptono, 2016, Membangun Poros Maritim Dunia dalam Perspektif Tata Ruang Laut, Direktorat
Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.
Suharto Abdul Majid dan Eko Probo D. Warpani,2014, Ground Handling, Manajemen Pelayanan Darat
Perusahaan Penerbangan, Rajawali Pers, Jakarta
Warpani.S, 2001, Dasar-dasar
Ekonomi Wilayah, Graha Ilmu, Yogyakarta