PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN JARINGAN
TRANSPORTASI
DALAM KAWASAN HUTAN
(Perencanaan Angkutan Sungai Muara
Situlen -
Singkil,
Provinsi Aceh)
Junaidi Ali
Kepala Bidang Program dan Pelaporan
Dishubkomintel Aceh
Abstrak
Perencanaan jaringan transportasi
merupakan suatu proses perencanaan yang kompleks dan sangat terkait dengan
perencanaan ruang wilayah termasuk memperhatikan daya dukung lingkungan. Penataan Ruang nasional menuntut adanya suatu Struktur
Ruang prasarana dan sarana transportasi untuk ikut mendukung kegiatan pemberdayaan
sosial ekonomi masyarakat secara hirarki dan memiliki hubungan fungsional. Perencanaan transportasi dalam bingkai perencanaan wilayah
adalah upaya dalam pencapaian sinergisitas dan menciptakan keterpaduan antara
peruntukan wilayah (pola ruang) dan pengembangan infrastruktur kawasan
(struktur ruang). Perencanaan transportasi sebagai bagian dari perencanaan
infrastruktur kawasan merupakan suatu proses yang dinamis serta harus tanggap
terhadap perubahan kebutuhan masyarakat agar tersedianya akses transportasi
yang memadai. Penyediaan sistem jaringan transportasi yang menembus kawasan
hutan konservasi/lindung menyebabkan terjadinya benturan dengan arahan fungsi
peruntukan ruang bagi perlindungan lingkungan. Agar masyarakat yang tinggal
dalam kawasan hutan tidak terisolasi dan dapat meningkat kesejahteraannya maka perlu dibangun jaringan transportasi berkelanjutan dengan mengintegrasikan perencanaan
sistem transportasi dengan sistem
perlindungan fungsi kawasan hutan. Transportasi sungai merupakan moda transportasi yang
ramah lingkungan dan potensial untuk dikembangkan secara terintegrasi dengan
upaya konservasi kawasan hutan. Pengembangan antar kawasan yang melintasi
kawasan hutan, diwujudkan dengan penyediaan infrastruktur kolaborasi dan
penguatan regulasi.
Kata Kunci: Transportasi
sungai, kawasan hutan, infrastruktur kolaborasi
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup tidak dapat
dipisahkan dari penataan ruang wilayah. Tata ruang merupakan salah satu
instrumen pencegahan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, oleh sebab itu perencanaan
tata ruang wilayah harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan
(Albert, 2013). Proses penataan ruang seringkali sangat rumit diselesaikan karena
perbedaan kepentingan dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan yang
berimbas pada penyusutan
kawasan hutan yang memprihatinkan,
perbedaan persepsi lintas sektor menjadi penyebab konflik dalam penataan ruang
wilayah.
Arah kebijakan pembangunan yang berorientasi pada eksploitasi
sumber daya alam telah mengakibatkan kerusakan hutan. Berdasarkan
peta vegetasi kehutanan Indonesia tahun
1950 menyebutkan sekitar 84 persen dari luas daratan Indonesia merupakan
kawasan hutan yang mencapai 162 juta hektar. Hasil survey tahun 1985 menyebutkan bahwa tutupan hutan
sudah menjadi sekitar 119 juta hektar, luas kawasan hutan mengalami penurunan
yang sangat signifikan sekitar 27 persen,
dalam kurun waktu antara tahun 1997 sampai tahun 2000 penyusutan hutan
diperkirakan mencapai 3,8 juta hektar per tahun (Erwin, 2009). Kerusakan hutan juga disebabkan rendahnya
pemahaman aspek sosial, ekonomi, budaya
lokal, serta aspek kesejarahan hubungan interaksi pengelolaan kawasan hutan, penetapan kawasan
hutan atau sebagai taman
nasional belum menganggap masyarakat sebagai bagian dari solusi tetapi sebagai bagian masalah.
Padahal, daerah penyangga, yaitu perdesaan di sekitar kawasan hutan
dapat dikelola sebagai social
capital . Apalagi desa-desa tersebut sebagai enclave, maka harus
dijadikan target pembinaan
dan/atau pendampingan (Wiratno,2012).
Pembinaan
kemandirian masyarakat yang
berada dalam kawasan hutan terutama penguatan
ekonomi masyarakat dilakukan melalui pengembangan
perdesaan terpadu
dengan penyediaan jaringan transportasi yang memberikan kemudahan akses dengan
tetap menjaga kelestarian lingkungan. Pola Pengelolaan Wilayah Sungai (WS) secara
terpadu selain mempertimbangkan faktor biofisik
dari hulu sampai hilir juga perlu mempertimbangkan faktor sosial-ekonomi,
kelembagaan, dan hukum. Dengan kata lain, pengelolaan wilayah sungai terpadu diharapkan dapat melakukan kajian integratif dan
menyeluruh serta upaya pemanfaatan dan konservasi termasuk pengembangan
transportasi sungai.
Sebagai
suatu jenis moda angkutan dalam sistem transportasi, transportasi sungai memiliki karakter yang
khas yang berbeda dengan moda angkutan lainnya terutama unggul dengan biaya yang murah (Susantono,
2009). Transportasi
sungai
belum digunakan secara maksimal, padahal peluang pemanfaatannya baik untuk
tujuan angkutan barang, penumpang, pariwisata masih sangat luas. Transportasi sungai mempunyai peran
penting dalam pengangkutan barang perdagangan,
hasil pertanian, peternakan, perikanan, dan
kerajinan penduduk sebagai komoditas
utama yang diangkut dengan
memanfaatkan pelayanan
transportasi sungai.
Peningkatan
pelayanan transportasi secara
menyeluruh menitikberatkan pada pentingnya peningkatan pergerakan antar dan
dalam kawasan/wilayah. Akan tetapi, kehadiran pembangunan
infrastruktur transportasi senantiasa memberikan dampak positif dan negatif
terhadap lingkungan hidup dalam
wilayah/kawasan yang dilalui, infrastruktur
yang
memberikan dampak paling minimal terhadap lingkungan semestinya diutamakan dalam membangun sistem
jaringan transportasi dimasa
mendatang. Dalam peningkatan aksesibilitas kawasan khususnya daerah pedalaman dan
terpencil dapat dijalankan dengan menerapkan sistem jaringan transportasi yang efektif
dan menekan kerusakan
lingkungan dengan pemilihan moda yang tepat serta sesuai dengan karakteristik
dan potensi kawasan.
Mengembangkan
suatu sistem transportasi berarti membenahi suatu satu kesatuan sistem kawasan
termasuk didalamnya kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan
keamanan (Sistranas, 2005). Perencanaan
sistem transportasi sebagai bagian dari perencanaan ruang wilayah dilakukan dalam sistem koordinasi interaktif
sehingga pelaksanaan pembangunan berdampak positif terhadap penataan tata ruang
secara keseluruhan.
Peningkatan
aksesibilitas transportasi di Indonesia selama ini sangat bergantung pada
alternatif pembangunan sarana transportasi jalan dan pada kenyataannya
pembangunan sarana jalan tidak selalu sesuai dengan karakteristik daerah dan
kondisi kawasan lingkungan yang dipergunakan. Pembangunan transportasi jalan yang
menghubungkan antar kawasan
dapat terkendala persoalan kebijakan
perlindungan lingkungan, karena harus menembus kawasan hutan. Pembangunan
prasarana/sarana transportasi jalan di kawasan hutan diprediksi akan menyebabkan kerusakan hutan, dengan demikian pembangunan jalan yang
direncanakan sulit dilaksanakan karena terkendala izin pemanfaatan kawasan hutan
dan ketersediaan dokumen kajian dampak lingkungan.
Rumusan Masalah
Penyediaan jaringan transportasi untuk
menghubungkan antar kawasan
yang
melewati Kawasan Strategis Nasional bagi perlindungan lingkungan terhambat oleh regulasi kawasan hutan dengan fungsi
konservasi. Rencana pengembangan transportasi sungai Muara Situlen – Singkil di
Provinsi Aceh yang melalui kawasan hutan dengan fungsi konservasi tidak dapat
diwujudkan karena merupakan pemanfaatan hutan diluar kepentingan hutan. Untuk
memperoleh solusi terhadap hambatan ini maka dalam penelitian ini dirumuskan
masalah: Bagaimana merencanakan pembangunan berkelanjutan jaringan
transportasi yang tidak bertentangan dengan fungsi konservasi kawasan hutan?
Tujuan Penelitian
Sesuai arahan tata ruang wilayah Aceh maka Pemerintah
Aceh pada Tahun 2013 menyiapkan Masterplan
Angkutan Sungai Muara Situlen-Gelombang-Singkil.
Akan tetapi, konsep
pengembangan transportasi sungai ini masih membutuhkan kajian secara regulasi
dan teknis lebih lanjut karena lintasannya
melewati kawasan hutan. Agar pengembangan transportasi sungai ini dapat terealisasi guna meningkatkan
aksesibilitas antar kawasan dan
menjangkau pelosok yang terisolir maka studi ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis regulasi pemanfaatan kawasan hutan dengan fungsi konservasi untuk penyediaan
jaringan transportasi;
2. Mengidentifikasi
keberadaan Wilayah Sungai Alas – Singkil untuk pemanfaatan jalur transportasi sungai;
3. Merencanakan pembangunan berkelanjutan, khususnya Pembuatan
Keputusan yang Terintegrasi jaringan transportasi sungai dalam kawasan hutan.
Metodologi
Penelitian
Pengumpulan
data sekunder dilakukan melalui literature
review,
kajian terhadap studi sebelumnya, data dan informasi serta regulasi dari
instansi terkait. Sedangkan pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan stakeholders kunci
yaitu Penanggung jawab perencanaan pada Badan
Lingkungan Hidup Aceh, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh, Dinas Bina Marga Aceh, Dinas Sumber Daya
Air Aceh, Dinas Kehutanan Aceh dan observasi langsung di lapangan. Sasaran data adalah
mendeskripsikan kondisi eksisting
rencana jalur rencana
transportasi sungai Muara Situlen -
Singkil,
menganalisis
hambatan secara regulasi dan alternatif solusi yang dimiliki. Selanjutnya, analisis
dilakukan melalui pendekatan metode deskripsi
kualitatif
dan secara yuridis normatif.
Gambaran
Umum Lokasi
Rencana pengembangan transportasi sungai
Muara Situlen - Singkil membentang dan melintasi tiga kabupaten/kota yaitu Kabupaten Aceh Tenggara, Kota Subulussalam dan Kabupaten
Aceh Singkil. Rencana pembangunan transportasi
sungai Muara Situlen - Singkil memiliki
jarak sepanjang 199 Km yang terdiri dari Muara Situlen - Gelombang sepanjang 71
Km, Gelombang - Rundeng sepanjang 40 Km, dan Rundeng - Singkil sepanjang 88 Km.
Untuk lebih jelas tentang lokasi tersebut
dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini:
Gambar 1. Peta Lokasi
Kondisi saat ini menunjukkan aksesibilitas Aceh Tenggara
pada umumnya yang sangat rendah dan khususnya lokasi Muara Situlen merupakan
daerah pelosok yang terisolir, tidak tersedia jaringan transportasi yang
menghubung secara langsung dari Muara Situlen (Aceh Tenggara) ke Gelombang
(Kota Subulussalam) yang melewati kawasan hutan dengan fungsi konservasi. Lokasi
Gelombang merupakan bagian administrasi Kota Subulussalam yang ditetapkan
sebagai Pusat Kegiatan Wilayah dalam perencanaan tata ruang Aceh dengan
keunggulan tersediannya akses berupa jalan nasional yang menghubungkan wilayah barat
dan selatan Aceh ke Provinsi Sumatera Utara
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Pengembangan
Jaringan Transportasi dalam Kawasan Hutan
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh
(2012-2032), tujuan penyelenggaraan sistem transportasi di Aceh
adalah mewujudkan sistem jaringan
transportasi yang terpadu, yaitu sistem transportasi yang mampu memfasilitasi pergerakan antar kawasan secara efisien, handal, berkualitas,
aman dan harga terjangkau.
Sesuai dengan arahan kebijakan pada RTRW Aceh, maka pembangunan sistem
transportasi yang terintegrasi didasarkan
pada kebutuhan zona arah pengembangan
transportasi Aceh seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Zona Pengembangan Transportasi Aceh
Sumber : Kaji Ulang Tatrawil Aceh, Balitbang -
Kementerian Perhubungan, 2012
Tata Ruang Wilayah Aceh yang ditetapkan
dalam Qanun Aceh Nomor 19 tahun 2013 menetapkan salah satu Kawasan Strategis
Aceh dalam pengembangan ekonomi masyarakat dalam Zona Perdagangan dan Pusat
Distribusi Aceh (Aceh Trade and Distribution Center). Berdasarkan 6 (enam) zona kawasan Aceh Trade and
Distribution Center (ATDC) ini, maka rencana arah pengembangan
jaringan pelayanan dan jaringan infrastruktur transportasi Aceh dikembangkan
menjadi 4 (empat) zona. Perencanaan sistem jaringan transportasi Aceh di
Kabupaten Aceh Tenggara, Kota
Subulussalam dan Kabupaten
Aceh Singkil
berdasarkan arahan zona transportasi berada
dalam satu zona yaitu Zona Selatan - Tenggara.
Kebijakan
transportasi Pemerintah Aceh masih mengandalkan transportasi jalan
sebagai sarana pergerakan antar kawasan. Sesuai dengan arahan RTRW Aceh, maka
Pemerintah Aceh berencana untuk meningkatan beberapa ruas jalan penghubung
antar zona, dimana beberapa ruas jalan diantaranya melintasi kawasan hutan. Rencana peningkatan jalan yang
melalui kawasan hutan tersebut telah menimbulkan belum dapat dijalankan karena terhambat regulasi pemanfaatan
hutan di luar kepentingan hutan.
Berdasarkan Rencana Kerja Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Peningkatan
Jalan
dapat diketahui bahwa terdapat 10 ruas jalan yang berada di dalam Kawasan Hutan
dengan total luas ± 1.827,19 Ha (Dinas
Bina Marga Aceh, 2013). Salah satu ruas jalan yang direncanakan ditingkatkan
adalah jalan akses antara Zona Selatan dan Zona Tenggara. Ruas jalan ini adalah
ruas jalan yang melewati Muara
Situlen ke Gelombang
yang dominan berada pada kawasan hutan konservasi. Rencana pembangunan jalan ini masih dalam tahapan penyusunan dokumen lingkungan dan terhambat
karena adanya keberatan dari beberapa organisasi
lingkungan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Rencana penyediaan jaringan transportasi untuk menghubungkan Muara Situlen - Gelombang yang
sebagian besar wilayahnya didominasi keberadaan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang merupakan salah satu Kawasan Strategis Nasional dalam Pelestarian Lingkungan. Luas TNGL mencapai 1.094.692 hektar yang secara administrasi
pemerintahan terletak di dua provinsi
yaitu Aceh dan Sumatera
Utara. Berdasarkan fungsinya, TNGL merupakan kawasan hutan dengan fungsi sebagai konservasi.
Kawasan konservasi tidak dapat dipergunakan selain untuk kegiatan kehutanan,
sesuai dengan fungsi dan peruntukan
hutan konservasi.
Taman Nasional Gunung Leuser memiliki
fungsi sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan; pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya; pemanfaatan secara
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sebagian besar kawasan TNGL memiliki topografi yang curam dengan struktur dan tekstur tanah
yang rentan terhadap longsor.
Wilayah kesatuan pengelolaan hutan Aceh berdasarkan Peta Penunjukan
Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Aceh (Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor SK.941/Menhut-II/2013 Tanggal 23 Desember 2013) menunjukkan Kawasan TNGL dan Rawa Singkil yang
merupakan kawasan konservasi dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3.
Peta Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Aceh
Sumber : Dinas Kehutanan Aceh
|
Penyediaan jaringan transportasi dalam kawasan hutan
harus mengikuti prinsip perlindungan terhadap kawasan hutan. Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjelaskan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan. Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi.
Hutan konservasi terdiri dari kawasan hutan suaka alam,
kawasan hutan pelestarian alam dan taman buru yang mengemban fungsi
untuk melindungi tumbuhan dan satwa yang ada di kawasan. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan
sumber daya buatan. Kawasan hutan
lindung adalah kawasan hutan
yang memiliki sifat khas yang
mampu memberikan perlindungan terhadap kawasan sekitar maupun bawahannya
sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta pemeliharaan
kesuburan tanah. Sedangkan hutan produksi adalah hutan yang mengemban tugas untuk
menghasilkan hasil hutan beserta kayu sebagai ikutannya.
Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan menjelaskan bahwa
penggunaan kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di
dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung, sepanjang tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan
melalui mekanisme pinjam pakai kawasan hutan. Mekanisme pinjam pakai kawasan hutan diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang mencantumkan bahwa penggunaan kawasan hutan lindung hanya dilakukan untuk kegiatan yang
bertujuan strategis dan tidak dapat dihindari seperti pembangunan fasilitas umum.
Paradigma
baru dari sistem kehutanan saat ini adalah melihat hutan sebagai sumber daya
yang diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan bersifat multi
fungsi, multi guna dan mengakomodir berbagai kepentingan. Dalam rangka pelestarian kawasan hutan konservasi dapat ikut melibatkan berbagai pihak
di luar sektor kehutanan. Sesuai dengan arahan
Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004
tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam,
maka pemanfaatan hutan konservasi untuk kegiata diluar kepentingan kehutanan dapat
dilakukan dengan konsep
Kolaborasi Pengelolaan.
Perencanaan transportasi sungai yang rutenya melewati kawasan konservasi yang membutuhkan penanganan yang bersifat
memakai kawasan hutan dapat
dijalankan melalui metode kolaborasi atau
skema pengelolaan bersama (perjanjian kerjasama). Lingkup jenis kegiatan kolaborasi yang
dapat dilaksanakan berdasarkan
lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004,
relevansinya dengan transportasi sungai dan fokus penanganan kolaborasi dapat dilihat sebagaimana tercantum
dalam Tabel 1. Jenis
kolaborasi pengelolaan yang terkait dengan pembangunan
jaringan transportasi sungai adalah kolaborasi pemanfaatan kawasan, kolaborasi kegiatan perlindungan dan pengamanan potensi kawasan, pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka menunjang
pelaksanaan kolaborasi serta jenis kolaborasi yang sebahagian terkait
transportasi sungai yaitu kolaborasi pembinaan partisipasi masyarakat.
Tabel 1. Kolaborasi Pada Kawasan dan Relevansinya dengan Angkutan Sungai
Mengacu pada jenis kegiatan yang dapat dikolaborasikan
dalam pengembangan angkutan sungai terbatas pada lingkup wisata
alam dan jasa lingkungan maka untuk kepentingan transportasi sungai seharusnya
ditetapkan jenis kegiatan kolaborasi tersendiri, sehingga kolaborasi tersebut
dapat mengakomodir kepentingan dan manfaat yang lebih luas yaitu penyediaan
akses untuk angkutan penumpang dan barang. Mengingat regulasi untuk kolaborasi
saat ini masih terbatas pada kegiatan wisata dan jasa lingkungan maka perlu
adanya regulasi yang secara khusus mengatur kolaborasi angkutan sungai. Hal ini
menjadi sangat penting agar pengembangan transportasi sungai tidak terhambat
pada kepentingan wisata dan jasa lingkungan saja, karena secara teknis terdapat
perbedaan antara penyediaan angkutan untuk umum dengan angkutan untuk wisata
dan jasa lingkungan.
Tindak lanjut kolaborasi yang relevan dengan kepentingan
angkutan sungai dapat ditentukan fokus penenganan kolaborasi dengan identifikasi
fungsi dan potensi kawasan, identifikasi dampak dan penyediaan infrastruktur
kolaborasi. Infrastruktur kolaborasi merupakan fasilitas yang dirancang dalam
rangka menunjang pelaksanaan kolaborasi untuk pemenuhan tanggung jawab para
pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pembangunan berkelanjutan terutama
operasional transportasi dan penjagaan hutan. Penyediaan infrastruktur
transportasi sungai diharapkan dapat berguna untuk kegiatan perlindungan dan pengamanan potensi kawasan, demikian juga perlindungan dan pengamanan potensi
kawasan dapat bermanfaat untuk keberlanjutan transportasi sungai.
Beberapa
contoh kolaborasi pada kawasan
hutan
di Indonesia, dinilai telah berhasil dilaksanakan dan hal ini patut untuk dipedomani,
termasuk juga kolaborasi dalam pengelolaan
ekowisata TNGL yang berbasis masyarakat di kawasan Tangkahan, Sumatera Utara (Kisah Sukses Kolaborasi Konservasi, Membangun
Optimisme Kelestarian Hutan, www.kompas.com) namun kolaborasi
ini belum merupakan kolaborasi transportasi. Keberadaan transportasi sungai secara tradisional dapat dikembangkan sebagai kegiatan
pariwisata dan ditetapkan sebagai kawasan yang berpotensi ekowisata (Nilai
Eksistensi dan Potensi, www.gunungleuser.or.id)
Sinergisitas untuk pengamanan potensi kawasan dan
opersional transportasi sungai yang melintasi kawasan hutan dapat dintegrasikan
dalam penyediaan infrastruktur kolaborasi. Salah satu kelemahan pengawasan dan
penjagaan kawasan
hutan selama ini adalah terbatasnya sarana
dan prasarana pengawasan hutan sehingga menyulitkan petugas kehutanan untuk dapat mengakses lokasi
penjagaan. Terjadinya kasus pengangkutan kayu secara illegal, serta hasil hutan lainnya yang diangkut melalui sungai dengan cara dihanyutkan, maka infrastruktur
kolaborasi transportasi sungai dapat dimanfaatkan oleh petugas kehutanan untuk penjagaan dan pengendalian kawasan hutan serta peluang
keterlibatan masyarakat pengguna transportasi sungai
untuk ikut mengawasi.
Keberadaan Wilayah
Sungai Alas-Singkil
dalam Kawasan Hutan
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2012 Wilayah
Sungai Alas-Singkil termasuk wilayah sungai lintas provinsi. Wilayah Sungai
Alas-Singkil secara geografis terletak pada koordinat 97° 03' 50" sampai
98° 39' 48" BT, dan 03° 56'
29" sampai 01° 59' 37" LU. Sungai Alas Singkil mempunyai panjang ±
366 km dan memiliki luas wilayah sungai ± 1.341.461 Ha = 13.414.61 Km2
(Dinas Sumber Daya Air Aceh, 2013). Secara administratif, wilayah sungai Alas-Singkil berada di Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera
Utara. Gambaran kawasan hutan dalam wilayah sungai Alas-Singkil dapat dilihat
pada Gambar 4 berikut.
Muara Situlen
|
Gambar 4. Pengelolaan Terpadu Wilayah Sungai Alas - Singkil
Gelombang
|
Pola pengelolaan wilayah sungai menyimpulkan bahwa keberadaan wilayah sungai selalu menjadi kendala dalam pemanfaatannya, kendala utama diakibatkan oleh kebijakan yang tidak terintegrasi. Sementara
pemanfaatannya mengalami kenaikan sebagai dampak dari perkembangan penduduk,
pertanian maupun usaha lainnya, oleh
sebab itu sangat mendesak dilakukan penataan secara sistematis yang bertujuan untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan antar pengguna
maupun antar wilayah. Pengelolaan wilayah sungai Alas –
Singkil perlu memperhatikan klasifikasi Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai
fungsi konservasi. DAS bagian hulu dikelola untuk mempertahankan kondisi
lingkungan DAS agar tidak terdegradasi. Indikasi lingkungan DAS terdiri
dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air
dan curah hujan. Bagian tengah dan bagian hilir didasarkan pada fungsi
pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan
sosial dan ekonomi.
Pengelolaan wilayah sungai Alas - Singkil dapat dilaksanakan dengan
meningkatkan peran pemerintah daerah dan swasta. Pembinaan kerjasama antara pemerintah kabupaten/kota di
hilir dan di hulu akan menguntungkan dalam penanganan konservasi dan
pengelolaan banjir. Pembinaan swasta akan berperan dalam pendanaan dan
bimbingan masyarakat untuk pelestarian lingkungan dan sumber daya air. Pembinaan
masyarakat diarahkan untuk ikut mengawasi terjadinya pelanggaran tejadinya kerusakan
hutan, pencemaran air dan penggunaan lahan yang menyalahi peruntukan ruang
wilayah.
Perencanaan dan regulasi pada tingkat nasional maupun daerah yang tidak
terintegrasi berpotensi menyebabkan terjadinya konflik pemanfaatan lahan. Masih
terdapat perbedaan penetapan arahan fungsi ruang antara Peta
Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Aceh yang menetapkan sebagai hutan lindung
sedangkan dalam RTRW Aceh ditetapkan sebagai areal peruntukan lainnya. Pada pola
wilayah sungai Alas – Singkil menjelaskan pula tentang konflik pemanfaatan
lahan di kawasan perbatasan antara Kabupaten Aceh Selatan yang menetapkan
arahan pemanfaatan lahan sebagai areal peruntukan lainnya, sedangkan Kota
Subulussalam menetapkan sebagai hutan lindung. Perbedaan penetapan ini tentunya
akan menimbulkan konflik pola ruang di masa mendatang.
Perencanaan Transportasi
Sungai Terintegrasi
Dalam
kerangka makro ekonomi,
transportasi merupakan tulang punggung perekonomian nasional, regional, dan
lokal, baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Harus diingat bahwa sistem transportasi memiliki sifat sistem jaringan dimana
kinerja pelayanan transportasi sangat dipengaruhi oleh integrasi dan
keterpaduan jaringan. Perbaikan
sistem transportasi dengan pembukaan lintas-lintas baru akan mengakibatkan
perbaikan pertumbuhan ekonomi dari kawasan yang terhubung dengan sistem
pelayanan yang baru karena berdampak
terhadap penurunan biaya produksi, meningkatkan nilai jual produk yang dihasilkan serta akan
mendorong investasi baru masuk ke kawasan
tersebut.
Transportasi sungai mempunyai keunggulan-keunggulan khas yang
tidak dimiliki oleh moda transportasi lainnya. Beberapa keunggulan utamanya
adalah berbiaya murah dan ramah lingkungan karena tidak membutuhkan pembangunan
infrastruktur baru yang besar serta pembukaan lahan yang masif. Transportasi
sungai juga sangat handal untuk menjangkau daerah pedalaman yang terisolasi
karena keterbatasan akses transportasi jalan akibat medan yang sulit dan biaya
pembangunan yang mahal. Berdasarkan karakteristik dan keunggulan transportasi sungai maka
pembangunan transportasi sungai sangat baik jika dikolaborasikan dengan program
konservasi hutan yang saat ini sedang menjadi perhatian masyarakat dunia.
Arahan RTRW Aceh menitikberatkan pada
pengembangan potensi masing-masing
wilayah dalam tiga kabupaten (Aceh Tenggara, Kota Subulussalam, dan Aceh
Singkil) yang akan menjadi satu
kesatuan zona pengembangan dengan penyediaan jaringan transportasi sungai Muara
Situlen - Singkil. Keberadaan pusat kegiatan wilayah pada Zona Selatan - Tenggara yaitu Kota
Subulussalam akan menjadi pusat perdagangan dan distribusi dengan dukungan
pusat agroindustri di Aceh Tenggara serta keunggulan Aceh Singkil dengan
fasilitas pendukung tersedianya pelabuhan laut.
Analisa terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Tenggara sudah
mendukung untuk pengembangan angkutan sungai Muara Situlen - Singkil sebagai
alternatif penyediaan akses transportasi untuk membuka isolasi daerah. Akan tetapi, transportasi sungai belum menjadi suatu kebijakan
strategis dalam mendukung kegiatan pengembangan wilayah. Penjabaran pengelolaan wilayah sungai Alas -
Singkil bagian hulu yang berada dalam wilayah administrasi Aceh Tenggara belum
sepenuhnya mendapat perhatian. Kota
Subulussalam sebagai salah satu Pusat Kegiatan Wilayah dalam RTRW Aceh, memiliki peran strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah sekitarnya.
Keberadaan sungai Alas - Singkil pada Rencana Tata Ruang Kota Subulussalam dirasakan
masih kurang mendapat perhatian yang serius. Arahan Tata Ruang Wilayah Aceh Singkil belum
memprioritaskan transportasi sungai Muara Situlen - Singkil. Permasalahan
sungai di wilayah ini lebih menitik-beratkan pada pengendalian banjir sebagai
bagian hilir wilayah sungai.
Pengembangan transportasi sungai Muara Situlen - Singkil akan menjadi jalur akses utama
zona selatan-tenggara. Dari segi ekonomi finansial, jalur
transportasi sungai lebih efektif dan efisien dibandingkan akses yang tersedia saat ini yaitu
jalur darat menuju pusat pasar di
wilayah
Sumatera Utara yang membutuhkan waktu lebih lama dengan karakteristik lokasi yang memiliki
topografi daratan berlereng terjal sehingga memiliki resiko longsor, sedangkan waktu tempuh
dari Muara Situlen menuju Gelombang lebih
singkat dengan tersedianya
transportasi
sungai.
Hasil kajian Masterplan Angkutan Sungai Muara Situlen - Gelombang - Singkil (Dishubkomintel Aceh, 2013) merekomendasikan jalur
transportasi sungai ini membutuhkan penanganan teknis pada beberapa lokasi. Berdasarkan masterplan terlihat bahwa penanganan
teknis seluruhnya masih terfokus pada infrastruktur transportasi sungai, belum
sama sekali merekomendasikan infrastruktur kolaborasi untuk penjagaan hutan. Untuk tujuan integrasi dapat memperhatikan identifikasi fungsi
kawasan masing-masing lokasi pada kolom keterangan seperti terlihat pada Tabel
2. Fungsi kawasan ini dapat menjadi dasar dalam penentuan jenis dan hirarki
infrastruktur kolaborasi.
Tabel 2. Kebutuhan Penanganan Angkutan Sungai Muara Situlen – Singkil
(Sumber: Diolah berdasaran Kajian Masterplan
Sungai Muara Situlen-Gelombang-Singkil, 2013)
Fungsi
infrastruktur kolaborasi diutamakan untuk operasional angkutan sungai dan
penjagaan kawasan hutan seperti dermaga angkutan sungai dan pos pengawasan
hutan yang di desain untuk penggunaan bersama yang terintegrasi. Terdapat dua fungsi
integrasi yang perlu dikoordinasikan yaitu integrasi pada masing-masing lokasi
dan integrasi jaringan secara keseluruhan. Agar integrasi jaringan dapat
dicapai maka perlu ditetapkan pusat infrastruktur kolaborasi yang berperan
sebagai pusat koordinasi.
Analisis tata
ruang dalam mempertimbangkan pemilihan lokasi
menitikberatkan pada jarak untuk kepentingan pengawasan, keterkaitan
dengan pusat kegiatan pertumbuhan dan kemudahan akses lanjutan. Perencanaan
transportasi sungai dalam kawasan hutan seharusnya mempertimbangkan juga
indikator pembangunan berkelanjutan dalam hal tata guna lahan untuk
mempertahankan tutupan lahan oleh hutan, kerusakan hutan dan pengelolaan
kawasan hutan (United Nations, 2007).
Pemilihan lokasi
pusat infrastruktur kolaborasi transportasi sungai Muara Situlen - Singkil dilaksanakan
dengan mempertimbangkan beberapa kriteria antara lain fungsi kawasan, akses
moda lanjutan, akses ke pusat kegiatan dan jangkauan pengawasan seperti
diperlihatkan pada tabel 3. Penyusunan kriteria ini menjadi sangat penting
untuk diperhatikan karena kesalahan dalam menetapkan kriteria akan berakibat pada
tidak tepatnya pemilihan lokasi pusat infrastruktur kolaborasi yang akan berdampak
pada tidak optimalnya capaian pelaksanaan tanggung jawab para pihak.
Tabel 3. Penentuan Pusat Infrastruktur Kolaborasi
Dalam tulisan
ini, pemilihan lokasi pusat infrastruktur kolaborasi dilaksanakan menggunakan
metode pembobotan terhadap kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil
evaluasi, Pusat infrastruktur kolaborasi dapat dikembangkan di wilayah Gelombang.
Sebagai tindak lanjut penetapan pusat infrastruktur kolaborasi tersebut maka
perlu mempersiapkan rencana teknik
terinci pemanfaatan wilayah Gelombang yang akan menjadi pusat pertumbuhan baru.
Lokasi Gunung Air ditampilkan dalam penentuan pusat infrastruktur kolaborasi
mewakili lokasi dalam kawasan hutan konservasi yang menggambarkan perlunya
perhatian dalam penjagaan kawasan hutan dengan infrastruktur kolaborasi yang
khusus.
Regulasi
kawasan hutan, pola pengelolaan wilayah sungai dan pengembangan transportasi sungai
memiliki kebijakan yang khas dan berbeda kepentingan antara satu dengan lainnya.
menyelaraskan kebijakan yang ada untuk perencanaan transportasi sungai pada lintas
Muara Situlen - Singkil agar sesuai dengan fungsi yang diharapkan.
Keintegrasian perencanaan ini merupakan bagian
strategis agar tercapainya upaya pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Strategi
dan rencana terpadu dalam
mengembangkan transportasi sungai
akan menyelesaikan kebutuhan pengelolaan wilayah sungai
dan perlindungan hutan secara terintegrasi. Kesatuan jaringan yang berada dalam satu kawasan ekosistem lingkungan diarahkan untuk lebih memperhatikan
kelestarian lingkungan sungai dalam
kawasan hutan dari Muara Situlen sampai dengan Singkil sebagaimana ditunjukkan dalam
Gambar 5 dibawah ini.
Gambar 5. Integrasi Jaringan Transportasi Sungai dengan
Pola Ruang Kawasan
Sumber: Diolah dari
Rancangan Qanun Tata Ruang Wilayah Kab. Aceh Tenggara, Kota Sulussalam dan Kab.
Aceh Singkil
Kebutuhan transportasi dan perlindungan
lingkungan kawasan TNGL dapat ditempuh langkah perencanaan terintegrasi infrastruktur
kolaborasi dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Kolaborasi dijalankan dengan terlebih
dahulu membangun kesepahaman dan pemetaan konflik melalui diskusi, dialog dan
pertemuan yang mengedepankan
keterlibatan masyarakat. Pengawasan kolaborasi dapat dijalankan dengan membentuk kelembagaan
kolaborasi. Beberapa pihak yang berkepentingan dalam
pengembangan transportasi
sungai Muara Situlen - Singkil adalah Dinas Perhubungan Aceh, Dinas
Kehutanan Aceh, Pemerintah Kabupaten/Kota, Balai TNGL, Balai WS Alas Singkil dan masyarakat.
Berdasarkan regulasi yang berlaku saat ini, maka dalam
jangka pendek terdapat dua metode kolaborasi yang
dapat dikembangkan pada
transportasi sungai Muara Situlen - Singkil. Pertama, kolaborasi dalam penyelenggaraan
wisata alam. Keberadaan transportasi sungai Muara Situlen - Singkil yang melintasi TNGL berpotensi
untuk dapat dijadikan sarana penunjang bagi kegiatan pariwisata yang
menonjolkan
keanekaragaman hayati sebagai daya tarik/atraksi bagi pengunjung kawasan taman
nasional tersebut. Kedua, kolaborasi
dalam Pengamanan Potensi Kawasan.
Penjagaan
hutan Konservasi TNGL merupakan suatu hal yang sangat sulit untuk dilakukan
sendiri oleh Balai TNGL mengingat luasnya kawasan Taman Nasional, keterlibatan dan
dukungan para pihak perlu terus ditingkatkan dalam bentuk koordinasi multi
sektor. Selain itu, pemberdayaan masyarakat dalam menjaga dan memanfaatkan
hutan dapat dilakukan oleh LSM melalui pendampingan, sehingga masyarakat tidak
menjadi perusak tetapi terlibat dalam
penjagaan hutan (social
buffer).
Konsep kolaborasi untuk jangka panjang, peran transportasi
sungai sebagai sarana angkutan penumpang dan barang dalam rangka mendorong
peningkatan kesejahteraan masyarakat perlu diakomodir melalui penyiapan regulasi yang mengatur kolaborasi
transportasi sungai dalam kawasan hutan dalam bentuk keputusan bersama Kementerian
Perhubungan dan Kementerian Kehutanan. Dengan tersedianya kolaborasi
transportasi sungai secara khusus, maka permasalahan keterbatasan akses
transportasi masyarakat yang berada dalam kawasan hutan mampu teratasi, sehingga
pembangunan berkelanjutan jaringan transportasi dalam kawasan hutan dapat
diterapkan pada kasus serupa.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan:
1. Penyediaan
jaringan transportasi sungai
dalam suatu kawasan hutan dapat ditempuh melalui kolaborasi yang terintegrasi untuk penjagaan hutan dan
operasional transportasi sungai. Lingkup kolaborasi transportasi sungai secara regulasi saat
ini masih terbatas
pada kegiatan wisata alam dan jasa lingkungan sehingga peran transportasi
sungai sebagai sarana mobilisasi penumpang dan barang antar kawasan belum dapat
dikembangkan.
2. Perlindungan
kawasan hutan dan penyediaan akses transportasi dapat dintegrasikan dengan
pengelolaan wilayah sungai yang selaras pada bahagian hulu, tengah dan hilir
sehingga dapat menghindari terjadinya konflik pemanfaatan lahan. Pengelolaan
wilayah sungai dengan fungsi konservasi harus menitik beratkan adanya
keterlibatan masyarakat yang berada dalam kawasan hutan.
3. Perencanan
transportasi sungai dalam kawasan hutan konservasi dengan tujuan membuka
isolasi daerah dapat dikoordinasikan melalui penyediaan infrastruktur
kolaborasi yang didasarkan pada tujuan integrasi masing-masing lokasi dan
integrasi jaringan transportasi sungai secara keseluruhan;
Saran-saran
1. Agar terlaksananya konsep
kolaborasi yang benar-benar sesuai untuk diterapkan maka diperlukan kajian
secara detail potensi dan cara penerapannya di lapangan agar tidak menimbulkan
dampak yang buruk bagi perlindungan lingkungan. Perlu penyiapan keputusan
bersama Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kehutanan yang mengatur
kolaborasi angkutan sungai dalam kawasan hutan sehingga angkutan sungai dapat
menjadi alternatif angkutan umum yang menjangkau daerah pedalaman sekaligus
berperan untuk mendukung penjagaan dan penyelamatan hutan. Model pemecahan
masalah pada kasus ini dapat diterapkan pada tempat-tempat lain yang memiliki
keterbatasan akses transportasi akibat perlindungan fungsi kawasan hutan.
2. Pemerintah Aceh selaku pembina teknis penataan ruang
kabupaten/kota perlu menata ulang dan mensinergikan pemanfaatan sungai Alas –
Singkil di dalam tata ruang serta dituangkan ke dalam Rencana Strategis
(Renstra) sebagai alternatif moda transportasi yang melewati kawasan hutan
dengan tetap mempertahankan fungsi hutan. Dengan adanya paradigma
baru dalam konservasi hutan yang memiliki dimensi sosial ekonomi jangka panjang
guna mendukung pembangunan berkelanjutan, maka
peran masyarakat dalam penentuan kebijakan secara bottom-up (participatory)
perlu diwujudkan, termasuk dalam hal perencanaan dan penyediaan akses
transportasi dan perlindungan hutan
3. Diperlukan kajian
lanjutan untuk implementasi kolaborasi transportasi sungai di kawasan hutan,
khususnya terkait dengan penyiapan detail infrastruktur kolaborasi, penyempurnaan
kriteria dalam penetapan peran dan hirarkhi infrastruktur kolaborasi yang akan
digunakan sebagai dasar dalam penyusunan Standard
Operating Procedure (SOP), kelembagaan dan skema pendanaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Albert Napitupulu, 2013, Kebijakan
Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan, PT Penerbit IPB Press, Bogor.
Hasni, 2008. Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
Kajian Masterplan Sungai Muara
Situlen - Gelombang - Singkil,
Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika
Aceh, 2013.
Muhammad Erwin, 2009, Hukum
Lingkungan, dalam Sistem Kebijaksanaan Lingkungan Hidup, PT Rafika Aditama, Bandung.
Nasution,
M Nur. 2004. Manajemen Transportasi (Edisi Kedua). Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Pola Pengelolaan
Wilayah Sungai Alas – Singkil.Dinas Sumber Daya
Air Aceh, 2012.
Rencana Kerja Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Peningkatan
Jalan.Dinas Bina Marga Aceh, 2014.
Studi Tinjau Ulang
Tataran Transportasi Wilayah Provinsi Aceh, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan, 2012.
Susantono
Bambang. 2009, 1001 Wajah Transportasi
Kita,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
United Nation. 2007, Indicators
of Sustainable Development: Guidelines and Methodologies, New York.
Wiratno. 2012, Solusi
Jalan Tengah, Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan
Lindung.Kementerian Kehutanan RI.Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar