Senin, 15 Februari 2016

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN JARINGAN TRANSPORTASI
DALAM KAWASAN HUTAN
(Perencanaan Angkutan Sungai Muara Situlen - Singkil, Provinsi Aceh)

Junaidi Ali
Kepala Bidang Program dan Pelaporan Dishubkomintel Aceh


 Abstrak
Perencanaan jaringan transportasi merupakan suatu proses perencanaan yang kompleks dan sangat terkait dengan perencanaan ruang wilayah termasuk memperhatikan daya dukung lingkungan. Penataan Ruang nasional menuntut adanya suatu Struktur Ruang prasarana dan sarana transportasi untuk ikut mendukung kegiatan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat secara hirarki dan memiliki hubungan fungsional. Perencanaan transportasi dalam bingkai perencanaan wilayah adalah upaya dalam pencapaian sinergisitas dan menciptakan keterpaduan antara peruntukan wilayah (pola ruang) dan pengembangan infrastruktur kawasan (struktur ruang). Perencanaan transportasi sebagai bagian dari perencanaan infrastruktur kawasan merupakan suatu proses yang dinamis serta harus tanggap terhadap perubahan kebutuhan masyarakat agar tersedianya akses transportasi yang memadai. Penyediaan sistem jaringan transportasi yang menembus kawasan hutan konservasi/lindung menyebabkan terjadinya benturan dengan arahan fungsi peruntukan ruang bagi perlindungan lingkungan. Agar masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan tidak terisolasi dan dapat meningkat kesejahteraannya maka perlu dibangun jaringan transportasi berkelanjutan dengan mengintegrasikan perencanaan sistem transportasi dengan sistem perlindungan fungsi kawasan hutan. Transportasi sungai merupakan moda transportasi yang ramah lingkungan dan potensial untuk dikembangkan secara terintegrasi dengan upaya konservasi kawasan hutan. Pengembangan antar kawasan yang melintasi kawasan hutan, diwujudkan dengan penyediaan infrastruktur kolaborasi dan penguatan regulasi.

Kata Kunci: Transportasi sungai, kawasan hutan, infrastruktur kolaborasi





PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan dari penataan ruang wilayah. Tata ruang merupakan salah satu instrumen pencegahan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, oleh sebab itu perencanaan tata ruang wilayah harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan (Albert, 2013). Proses penataan ruang seringkali sangat rumit diselesaikan karena perbedaan kepentingan dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan yang berimbas pada penyusutan kawasan hutan yang memprihatinkan, perbedaan persepsi lintas sektor menjadi penyebab konflik dalam penataan ruang wilayah.
Arah kebijakan pembangunan yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam telah mengakibatkan kerusakan hutan. Berdasarkan peta vegetasi kehutanan Indonesia  tahun 1950 menyebutkan sekitar 84 persen dari luas daratan Indonesia merupakan kawasan hutan yang mencapai 162 juta hektar. Hasil survey tahun 1985 menyebutkan bahwa tutupan hutan sudah menjadi sekitar 119 juta hektar, luas kawasan hutan mengalami penurunan yang sangat signifikan sekitar 27 persen, dalam kurun waktu antara tahun 1997 sampai tahun 2000 penyusutan hutan diperkirakan mencapai 3,8 juta hektar per tahun (Erwin, 2009). Kerusakan hutan juga disebabkan rendahnya pemahaman aspek sosial, ekonomi, budaya lokal, serta aspek kesejarahan hubungan interaksi pengelolaan kawasan hutan, penetapan kawasan hutan atau sebagai taman nasional belum menganggap masyarakat sebagai bagian dari solusi tetapi sebagai bagian masalah. Padahal, daerah penyangga, yaitu perdesaan di sekitar  kawasan hutan dapat dikelola sebagai social capital . Apalagi desa-desa tersebut sebagai enclave, maka harus dijadikan target pembinaan dan/atau pendampingan (Wiratno,2012).
Pembinaan kemandirian masyarakat yang berada dalam kawasan hutan  terutama penguatan ekonomi masyarakat dilakukan melalui pengembangan perdesaan terpadu dengan penyediaan jaringan transportasi yang memberikan kemudahan akses dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Pola Pengelolaan Wilayah Sungai (WS) secara terpadu selain mempertimbangkan faktor biofisik dari hulu sampai hilir juga perlu mempertimbangkan faktor sosial-ekonomi, kelembagaan, dan hukum. Dengan kata lain, pengelolaan wilayah sungai terpadu diharapkan dapat melakukan kajian integratif dan menyeluruh serta upaya pemanfaatan dan konservasi termasuk pengembangan transportasi sungai.
Sebagai suatu jenis moda angkutan dalam sistem transportasi, transportasi sungai memiliki karakter yang khas yang berbeda dengan moda angkutan lainnya terutama unggul dengan biaya yang murah (Susantono, 2009). Transportasi sungai belum digunakan secara maksimal, padahal peluang pemanfaatannya baik untuk tujuan angkutan barang, penumpang, pariwisata masih sangat luas. Transportasi sungai mempunyai peran penting dalam pengangkutan barang perdagangan, hasil pertanian, peternakan, perikanan, dan kerajinan penduduk sebagai komoditas utama yang diangkut dengan memanfaatkan pelayanan transportasi sungai.
Peningkatan pelayanan transportasi secara menyeluruh menitikberatkan pada pentingnya peningkatan pergerakan antar dan dalam kawasan/wilayah. Akan tetapi, kehadiran pembangunan infrastruktur transportasi senantiasa memberikan dampak positif dan negatif terhadap lingkungan hidup dalam wilayah/kawasan yang dilalui, infrastruktur yang memberikan dampak paling minimal terhadap lingkungan semestinya diutamakan dalam membangun sistem jaringan transportasi dimasa mendatang. Dalam peningkatan aksesibilitas kawasan khususnya daerah pedalaman dan terpencil dapat dijalankan dengan menerapkan sistem jaringan transportasi yang efektif dan menekan kerusakan lingkungan dengan pemilihan moda yang tepat serta sesuai dengan karakteristik dan potensi kawasan.
Mengembangkan suatu sistem transportasi berarti membenahi suatu satu kesatuan sistem kawasan termasuk didalamnya kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan (Sistranas, 2005). Perencanaan sistem transportasi sebagai bagian dari perencanaan ruang wilayah dilakukan dalam sistem koordinasi interaktif sehingga pelaksanaan pembangunan berdampak positif terhadap penataan tata ruang secara keseluruhan.
Peningkatan aksesibilitas transportasi di Indonesia selama ini sangat bergantung pada alternatif pembangunan sarana transportasi jalan dan pada kenyataannya pembangunan sarana jalan tidak selalu sesuai dengan karakteristik daerah dan kondisi kawasan lingkungan yang dipergunakan. Pembangunan transportasi jalan yang menghubungkan antar kawasan dapat terkendala persoalan kebijakan perlindungan lingkungan, karena harus menembus kawasan  hutan. Pembangunan prasarana/sarana transportasi jalan di kawasan hutan diprediksi akan menyebabkan  kerusakan hutan, dengan demikian pembangunan jalan yang direncanakan sulit  dilaksanakan karena terkendala izin pemanfaatan kawasan hutan dan ketersediaan dokumen kajian dampak lingkungan.
Rumusan Masalah
Penyediaan jaringan transportasi untuk menghubungkan antar kawasan yang melewati Kawasan Strategis Nasional bagi perlindungan lingkungan terhambat oleh  regulasi kawasan hutan dengan fungsi konservasi. Rencana pengembangan transportasi sungai Muara Situlen – Singkil di Provinsi Aceh yang melalui kawasan hutan dengan fungsi konservasi tidak dapat diwujudkan karena merupakan pemanfaatan hutan diluar kepentingan hutan. Untuk memperoleh solusi terhadap hambatan ini maka dalam penelitian ini dirumuskan masalah: Bagaimana merencanakan pembangunan berkelanjutan jaringan transportasi yang tidak bertentangan dengan fungsi konservasi kawasan hutan?
Tujuan Penelitian
Sesuai arahan tata ruang wilayah Aceh maka Pemerintah Aceh pada Tahun 2013 menyiapkan Masterplan Angkutan Sungai Muara Situlen-Gelombang-Singkil. Akan tetapi, konsep pengembangan transportasi sungai ini masih membutuhkan kajian secara regulasi dan teknis lebih lanjut karena lintasannya melewati kawasan hutan. Agar pengembangan transportasi sungai  ini dapat terealisasi guna meningkatkan aksesibilitas antar kawasan dan menjangkau pelosok yang terisolir maka studi ini bertujuan untuk:
1.     Menganalisis regulasi pemanfaatan kawasan hutan dengan fungsi konservasi untuk penyediaan jaringan transportasi;
2.     Mengidentifikasi keberadaan Wilayah Sungai Alas Singkil untuk pemanfaatan jalur transportasi sungai;
3.     Merencanakan pembangunan berkelanjutan, khususnya Pembuatan Keputusan yang Terintegrasi  jaringan transportasi sungai dalam kawasan hutan.
Metodologi Penelitian
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui literature review, kajian terhadap studi sebelumnya, data dan informasi serta regulasi dari instansi terkait. Sedangkan pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan stakeholders kunci yaitu Penanggung jawab perencanaan pada Badan  Lingkungan Hidup Aceh, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh, Dinas Bina Marga Aceh, Dinas Sumber Daya Air Aceh, Dinas Kehutanan Aceh dan observasi langsung di lapangan. Sasaran data adalah mendeskripsikan kondisi eksisting rencana jalur rencana transportasi sungai Muara Situlen - Singkil, menganalisis hambatan secara regulasi dan alternatif solusi yang dimiliki. Selanjutnya, analisis dilakukan melalui pendekatan metode deskripsi kualitatif dan secara yuridis normatif.
Gambaran Umum Lokasi
Rencana pengembangan transportasi sungai Muara Situlen - Singkil membentang dan melintasi tiga kabupaten/kota yaitu Kabupaten Aceh Tenggara, Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil. Rencana pembangunan transportasi sungai Muara Situlen - Singkil  memiliki jarak sepanjang 199 Km yang terdiri dari Muara Situlen - Gelombang sepanjang 71 Km, Gelombang - Rundeng sepanjang 40 Km, dan Rundeng - Singkil sepanjang 88 Km.  Untuk lebih jelas tentang lokasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini:
Gambar 1. Peta Lokasi

       Sumber : Masterplan Angkutan Sungai Muara Situlen - Gelombang - Singkil, 2013

Kondisi saat ini menunjukkan aksesibilitas Aceh Tenggara pada umumnya yang sangat rendah dan khususnya lokasi Muara Situlen merupakan daerah pelosok yang terisolir, tidak tersedia jaringan transportasi yang menghubung secara langsung dari Muara Situlen (Aceh Tenggara) ke Gelombang (Kota Subulussalam) yang melewati kawasan hutan dengan fungsi konservasi. Lokasi Gelombang merupakan bagian administrasi Kota Subulussalam yang ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Wilayah dalam perencanaan tata ruang Aceh dengan keunggulan tersediannya akses berupa jalan nasional yang menghubungkan wilayah barat dan selatan Aceh ke Provinsi Sumatera Utara

  
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengembangan Jaringan Transportasi dalam Kawasan Hutan
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh (2012-2032), tujuan penyelenggaraan sistem transportasi di Aceh adalah mewujudkan sistem jaringan transportasi yang terpadu, yaitu sistem transportasi yang mampu memfasilitasi pergerakan antar kawasan secara efisien, handal, berkualitas, aman dan harga terjangkau. Sesuai dengan arahan kebijakan pada RTRW Aceh, maka pembangunan sistem transportasi yang terintegrasi didasarkan pada kebutuhan zona arah pengembangan transportasi Aceh seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Zona Pengembangan Transportasi Aceh
       Sumber : Kaji Ulang Tatrawil Aceh, Balitbang - Kementerian Perhubungan, 2012


Tata Ruang Wilayah Aceh yang ditetapkan dalam Qanun Aceh Nomor 19 tahun 2013 menetapkan salah satu Kawasan Strategis Aceh dalam pengembangan ekonomi masyarakat dalam Zona Perdagangan dan Pusat Distribusi Aceh (Aceh Trade and Distribution Center). Berdasarkan 6 (enam) zona kawasan Aceh Trade and Distribution Center (ATDC) ini, maka rencana arah pengembangan jaringan pelayanan dan jaringan infrastruktur transportasi Aceh dikembangkan menjadi 4 (empat) zona. Perencanaan sistem jaringan transportasi Aceh di Kabupaten Aceh Tenggara, Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil berdasarkan arahan zona transportasi berada dalam satu zona yaitu Zona Selatan - Tenggara.
Kebijakan transportasi Pemerintah Aceh masih mengandalkan transportasi jalan sebagai sarana pergerakan antar kawasan. Sesuai dengan arahan RTRW Aceh, maka Pemerintah Aceh berencana untuk meningkatan beberapa ruas jalan penghubung antar zona, dimana beberapa ruas jalan diantaranya melintasi kawasan hutan. Rencana peningkatan jalan yang melalui kawasan hutan tersebut telah menimbulkan belum dapat dijalankan karena terhambat regulasi pemanfaatan hutan di luar kepentingan hutan.
Berdasarkan Rencana Kerja Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Peningkatan Jalan dapat diketahui bahwa terdapat 10 ruas jalan yang berada di dalam Kawasan Hutan dengan total luas ± 1.827,19 Ha (Dinas Bina Marga Aceh, 2013). Salah satu ruas jalan yang direncanakan ditingkatkan adalah jalan akses antara Zona Selatan dan Zona Tenggara. Ruas jalan ini adalah ruas jalan yang melewati Muara Situlen ke Gelombang yang dominan berada pada kawasan hutan konservasi. Rencana pembangunan jalan ini masih dalam tahapan penyusunan dokumen lingkungan dan terhambat karena adanya keberatan dari beberapa organisasi lingkungan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Rencana penyediaan jaringan transportasi  untuk menghubungkan Muara Situlen - Gelombang yang sebagian besar wilayahnya didominasi keberadaan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang merupakan salah satu Kawasan Strategis Nasional dalam Pelestarian Lingkungan. Luas TNGL mencapai 1.094.692 hektar yang secara administrasi pemerintahan terletak di dua provinsi yaitu Aceh dan Sumatera Utara. Berdasarkan fungsinya, TNGL merupakan kawasan hutan dengan fungsi sebagai konservasi. Kawasan konservasi tidak dapat dipergunakan selain untuk kegiatan kehutanan, sesuai dengan fungsi dan peruntukan hutan konservasi.
Taman Nasional Gunung Leuser memiliki fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan; pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;  pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sebagian besar kawasan TNGL memiliki topografi yang curam dengan struktur dan tekstur tanah yang rentan terhadap longsor. Wilayah kesatuan pengelolaan hutan Aceh berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Aceh (Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.941/Menhut-II/2013 Tanggal 23 Desember 2013) menunjukkan Kawasan TNGL dan Rawa Singkil yang merupakan kawasan konservasi dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3.  Peta Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Aceh
Kawasan Konservasi

(Suaka Margasatwa
Rawa Singkil)
Sumber : Dinas Kehutanan Aceh

Penyediaan jaringan transportasi dalam kawasan hutan harus mengikuti prinsip perlindungan terhadap kawasan hutan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjelaskan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi.
Hutan konservasi terdiri dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam dan taman buru yang mengemban fungsi untuk melindungi tumbuhan dan satwa yang ada di kawasan. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan  hutan  lindung adalah  kawasan  hutan  yang  memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan terhadap kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah. Sedangkan hutan produksi adalah hutan yang mengemban tugas untuk menghasilkan hasil hutan beserta kayu sebagai ikutannya.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan menjelaskan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung, sepanjang tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan melalui mekanisme pinjam pakai kawasan hutan. Mekanisme pinjam pakai kawasan hutan diatur  dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang mencantumkan bahwa penggunaan kawasan hutan lindung hanya dilakukan untuk kegiatan yang bertujuan strategis dan tidak dapat dihindari seperti pembangunan fasilitas umum.
Paradigma baru dari sistem kehutanan saat ini adalah melihat hutan sebagai sumber daya yang diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan bersifat multi fungsi, multi guna dan mengakomodir berbagai kepentingan.  Dalam rangka pelestarian kawasan hutan konservasi dapat ikut melibatkan berbagai pihak di luar sektor kehutanan. Sesuai dengan arahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, maka pemanfaatan hutan konservasi untuk kegiata diluar kepentingan kehutanan dapat dilakukan dengan konsep Kolaborasi Pengelolaan. 
Perencanaan transportasi sungai yang rutenya melewati kawasan konservasi yang membutuhkan penanganan yang bersifat memakai kawasan hutan dapat dijalankan melalui metode kolaborasi atau skema pengelolaan bersama (perjanjian kerjasama). Lingkup jenis kegiatan kolaborasi yang dapat dilaksanakan berdasarkan lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004, relevansinya dengan transportasi sungai dan fokus penanganan kolaborasi dapat dilihat sebagaimana tercantum dalam Tabel 1. Jenis kolaborasi pengelolaan yang terkait dengan pembangunan jaringan transportasi sungai adalah kolaborasi pemanfaatan kawasan, kolaborasi kegiatan perlindungan dan pengamanan potensi kawasan, pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka menunjang pelaksanaan kolaborasi serta jenis kolaborasi yang sebahagian terkait transportasi sungai yaitu kolaborasi pembinaan partisipasi masyarakat.
Tabel 1. Kolaborasi Pada Kawasan dan Relevansinya dengan Angkutan Sungai


Mengacu pada jenis kegiatan yang dapat dikolaborasikan dalam pengembangan angkutan sungai terbatas pada lingkup wisata alam dan jasa lingkungan maka untuk kepentingan transportasi sungai seharusnya ditetapkan jenis kegiatan kolaborasi tersendiri, sehingga kolaborasi tersebut dapat mengakomodir kepentingan dan manfaat yang lebih luas yaitu penyediaan akses untuk angkutan penumpang dan barang. Mengingat regulasi untuk kolaborasi saat ini masih terbatas pada kegiatan wisata dan jasa lingkungan maka perlu adanya regulasi yang secara khusus mengatur kolaborasi angkutan sungai. Hal ini menjadi sangat penting agar pengembangan transportasi sungai tidak terhambat pada kepentingan wisata dan jasa lingkungan saja, karena secara teknis terdapat perbedaan antara penyediaan angkutan untuk umum dengan angkutan untuk wisata dan jasa lingkungan.
Tindak lanjut kolaborasi yang relevan dengan kepentingan angkutan sungai dapat ditentukan fokus penenganan kolaborasi dengan identifikasi fungsi dan potensi kawasan, identifikasi dampak dan penyediaan infrastruktur kolaborasi. Infrastruktur kolaborasi merupakan fasilitas yang dirancang dalam rangka menunjang pelaksanaan kolaborasi untuk pemenuhan tanggung jawab para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pembangunan berkelanjutan terutama operasional transportasi dan penjagaan hutan. Penyediaan infrastruktur transportasi sungai diharapkan dapat berguna  untuk  kegiatan perlindungan dan pengamanan potensi kawasan, demikian juga perlindungan dan pengamanan potensi kawasan dapat bermanfaat untuk keberlanjutan transportasi sungai.
Beberapa contoh kolaborasi pada kawasan hutan di Indonesia, dinilai telah berhasil dilaksanakan dan hal ini patut untuk dipedomani, termasuk juga kolaborasi dalam pengelolaan ekowisata TNGL yang berbasis masyarakat di kawasan Tangkahan, Sumatera Utara (Kisah Sukses Kolaborasi Konservasi, Membangun Optimisme Kelestarian Hutan, www.kompas.com) namun kolaborasi ini belum merupakan kolaborasi transportasi. Keberadaan transportasi sungai secara tradisional dapat dikembangkan sebagai kegiatan pariwisata dan ditetapkan sebagai kawasan yang berpotensi ekowisata (Nilai Eksistensi dan Potensi, www.gunungleuser.or.id)
Sinergisitas untuk pengamanan potensi kawasan dan opersional transportasi sungai yang melintasi kawasan hutan dapat dintegrasikan dalam penyediaan infrastruktur kolaborasi. Salah satu kelemahan pengawasan dan penjagaan kawasan hutan selama ini adalah terbatasnya sarana dan prasarana pengawasan hutan sehingga menyulitkan petugas kehutanan untuk dapat mengakses lokasi penjagaan. Terjadinya kasus pengangkutan kayu secara illegal, serta hasil hutan lainnya yang diangkut melalui sungai dengan cara dihanyutkan, maka infrastruktur kolaborasi transportasi sungai dapat dimanfaatkan oleh petugas kehutanan untuk penjagaan dan pengendalian kawasan hutan serta peluang keterlibatan masyarakat  pengguna transportasi sungai untuk ikut mengawasi.
Keberadaan Wilayah Sungai Alas-Singkil dalam Kawasan Hutan
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2012 Wilayah Sungai Alas-Singkil termasuk wilayah sungai lintas provinsi. Wilayah Sungai Alas-Singkil secara geografis terletak pada koordinat 97° 03' 50" sampai 98° 39' 48" BT, dan  03° 56' 29" sampai 01° 59' 37" LU. Sungai Alas Singkil mempunyai panjang ± 366 km dan memiliki luas wilayah sungai ± 1.341.461 Ha = 13.414.61 Km2 (Dinas Sumber Daya Air Aceh, 2013). Secara administratif, wilayah sungai Alas-Singkil  berada di Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara. Gambaran kawasan hutan dalam wilayah sungai Alas-Singkil dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.
Muara Situlen

Gambar 4.  Pengelolaan Terpadu Wilayah Sungai Alas - Singkil
Singkil

Gelombang
Sumber : Dinas Sumber Daya Air Aceh

Pola pengelolaan wilayah sungai menyimpulkan bahwa keberadaan wilayah sungai  selalu menjadi kendala dalam pemanfaatannya, kendala utama diakibatkan oleh kebijakan yang tidak terintegrasi. Sementara pemanfaatannya mengalami kenaikan sebagai dampak dari perkembangan penduduk, pertanian maupun usaha lainnya, oleh sebab itu sangat mendesak dilakukan penataan secara sistematis yang bertujuan untuk menghindari  terjadinya konflik kepentingan antar pengguna maupun antar wilayah. Pengelolaan wilayah sungai Alas – Singkil perlu memperhatikan klasifikasi Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai fungsi konservasi. DAS bagian hulu dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi. Indikasi lingkungan DAS terdiri dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air dan curah hujan. Bagian tengah dan bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi.
Pengelolaan wilayah sungai Alas - Singkil dapat dilaksanakan dengan meningkatkan peran pemerintah daerah dan swasta. Pembinaan kerjasama antara pemerintah kabupaten/kota di hilir dan di hulu akan menguntungkan dalam penanganan konservasi dan pengelolaan banjir. Pembinaan swasta akan berperan dalam pendanaan dan bimbingan masyarakat untuk pelestarian lingkungan dan sumber daya air. Pembinaan masyarakat diarahkan untuk ikut mengawasi terjadinya pelanggaran tejadinya kerusakan hutan, pencemaran air dan penggunaan lahan yang menyalahi peruntukan ruang wilayah.
Perencanaan dan regulasi pada tingkat nasional maupun daerah yang tidak terintegrasi berpotensi menyebabkan terjadinya konflik pemanfaatan lahan. Masih terdapat perbedaan penetapan arahan fungsi ruang antara Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Aceh  yang menetapkan sebagai hutan lindung sedangkan dalam RTRW Aceh ditetapkan sebagai areal peruntukan lainnya. Pada pola wilayah sungai Alas – Singkil menjelaskan pula tentang konflik pemanfaatan lahan di kawasan perbatasan antara Kabupaten Aceh Selatan yang menetapkan arahan pemanfaatan lahan sebagai areal peruntukan lainnya, sedangkan Kota Subulussalam menetapkan sebagai hutan lindung. Perbedaan penetapan ini tentunya akan menimbulkan konflik pola ruang di masa mendatang.

Perencanaan Transportasi Sungai Terintegrasi
Dalam kerangka makro ekonomi, transportasi merupakan tulang punggung perekonomian nasional, regional, dan lokal, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Harus diingat bahwa sistem transportasi memiliki sifat sistem jaringan dimana kinerja pelayanan transportasi sangat dipengaruhi oleh integrasi dan keterpaduan jaringan. Perbaikan sistem transportasi dengan pembukaan lintas-lintas baru akan mengakibatkan perbaikan pertumbuhan ekonomi dari kawasan yang terhubung dengan sistem pelayanan yang baru karena berdampak terhadap  penurunan biaya produksi, meningkatkan nilai jual produk yang dihasilkan serta akan mendorong investasi baru masuk ke kawasan tersebut.
Transportasi sungai mempunyai keunggulan-keunggulan khas yang tidak dimiliki oleh moda transportasi lainnya. Beberapa keunggulan utamanya adalah berbiaya murah dan ramah lingkungan karena tidak membutuhkan pembangunan infrastruktur baru yang besar serta pembukaan lahan yang masif. Transportasi sungai juga sangat handal untuk menjangkau daerah pedalaman yang terisolasi karena keterbatasan akses transportasi jalan akibat medan yang sulit dan biaya pembangunan yang mahal. Berdasarkan karakteristik dan keunggulan transportasi sungai maka pembangunan transportasi sungai sangat baik jika dikolaborasikan dengan program konservasi hutan yang saat ini sedang menjadi perhatian masyarakat dunia.
Arahan RTRW Aceh menitikberatkan pada pengembangan potensi masing-masing wilayah dalam tiga kabupaten (Aceh Tenggara, Kota Subulussalam, dan Aceh Singkil) yang akan menjadi satu kesatuan zona pengembangan dengan penyediaan jaringan transportasi sungai Muara Situlen - Singkil. Keberadaan pusat kegiatan wilayah pada Zona Selatan - Tenggara yaitu Kota Subulussalam akan menjadi pusat perdagangan dan distribusi dengan dukungan pusat agroindustri di Aceh Tenggara serta keunggulan Aceh Singkil dengan fasilitas pendukung tersedianya pelabuhan laut.
Analisa terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Tenggara sudah mendukung untuk pengembangan angkutan sungai Muara Situlen - Singkil sebagai alternatif penyediaan akses transportasi untuk membuka isolasi daerah. Akan tetapi, transportasi sungai belum menjadi suatu kebijakan strategis dalam mendukung kegiatan pengembangan wilayah. Penjabaran pengelolaan wilayah sungai Alas - Singkil bagian hulu yang berada dalam wilayah administrasi Aceh Tenggara belum sepenuhnya mendapat perhatian. Kota Subulussalam sebagai salah satu Pusat Kegiatan Wilayah dalam RTRW Aceh, memiliki peran strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah sekitarnya. Keberadaan sungai Alas - Singkil pada Rencana Tata Ruang Kota Subulussalam dirasakan masih kurang mendapat perhatian yang serius. Arahan Tata Ruang Wilayah Aceh Singkil belum memprioritaskan transportasi sungai Muara Situlen - Singkil. Permasalahan sungai di wilayah ini lebih menitik-beratkan pada pengendalian banjir sebagai bagian hilir wilayah sungai.
Pengembangan transportasi sungai Muara Situlen - Singkil akan menjadi jalur akses utama zona selatan-tenggara. Dari segi ekonomi finansial, jalur transportasi sungai lebih efektif dan efisien dibandingkan akses yang tersedia saat ini yaitu jalur darat menuju pusat pasar di wilayah Sumatera Utara yang membutuhkan waktu lebih lama dengan karakteristik lokasi yang memiliki topografi daratan berlereng terjal sehingga memiliki resiko longsor, sedangkan waktu tempuh dari Muara Situlen menuju Gelombang lebih singkat dengan  tersedianya transportasi sungai.
Hasil kajian Masterplan Angkutan Sungai Muara Situlen - Gelombang - Singkil (Dishubkomintel Aceh, 2013) merekomendasikan jalur transportasi sungai ini membutuhkan penanganan teknis pada beberapa lokasi. Berdasarkan masterplan terlihat bahwa penanganan teknis seluruhnya masih terfokus pada infrastruktur transportasi sungai, belum sama sekali merekomendasikan infrastruktur kolaborasi untuk penjagaan hutan. Untuk tujuan integrasi dapat memperhatikan identifikasi fungsi kawasan masing-masing lokasi pada kolom keterangan seperti terlihat pada Tabel 2. Fungsi kawasan ini dapat menjadi dasar dalam penentuan jenis dan hirarki infrastruktur kolaborasi.
Tabel 2. Kebutuhan Penanganan Angkutan Sungai Muara Situlen – Singkil
(Sumber: Diolah berdasaran Kajian Masterplan Sungai Muara Situlen-Gelombang-Singkil, 2013)


Fungsi infrastruktur kolaborasi diutamakan untuk operasional angkutan sungai dan penjagaan kawasan hutan seperti dermaga angkutan sungai dan pos pengawasan hutan yang di desain untuk penggunaan bersama yang terintegrasi. Terdapat dua fungsi integrasi yang perlu dikoordinasikan yaitu integrasi pada masing-masing lokasi dan integrasi jaringan secara keseluruhan. Agar integrasi jaringan dapat dicapai maka perlu ditetapkan pusat infrastruktur kolaborasi yang berperan sebagai pusat koordinasi.
Analisis tata ruang dalam mempertimbangkan pemilihan lokasi  menitikberatkan pada jarak untuk kepentingan pengawasan, keterkaitan dengan pusat kegiatan pertumbuhan dan kemudahan akses lanjutan. Perencanaan transportasi sungai dalam kawasan hutan seharusnya mempertimbangkan juga indikator pembangunan berkelanjutan dalam hal tata guna lahan untuk mempertahankan tutupan lahan oleh hutan, kerusakan hutan dan pengelolaan kawasan hutan (United Nations, 2007).
Pemilihan lokasi pusat infrastruktur kolaborasi transportasi sungai Muara Situlen - Singkil dilaksanakan dengan mempertimbangkan beberapa kriteria antara lain fungsi kawasan, akses moda lanjutan, akses ke pusat kegiatan dan jangkauan pengawasan seperti diperlihatkan pada tabel 3. Penyusunan kriteria ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan karena kesalahan dalam menetapkan kriteria akan berakibat pada tidak tepatnya pemilihan lokasi pusat infrastruktur kolaborasi yang akan berdampak pada tidak optimalnya capaian pelaksanaan tanggung jawab para pihak.
Tabel  3. Penentuan Pusat Infrastruktur Kolaborasi

Dalam tulisan ini, pemilihan lokasi pusat infrastruktur kolaborasi dilaksanakan menggunakan metode pembobotan terhadap kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Berdasarkan  hasil evaluasi, Pusat infrastruktur kolaborasi dapat dikembangkan di wilayah Gelombang. Sebagai tindak lanjut penetapan pusat infrastruktur kolaborasi tersebut maka perlu  mempersiapkan rencana teknik terinci pemanfaatan wilayah Gelombang yang akan menjadi pusat pertumbuhan baru. Lokasi Gunung Air ditampilkan dalam penentuan pusat infrastruktur kolaborasi mewakili lokasi dalam kawasan hutan konservasi yang menggambarkan perlunya perhatian dalam penjagaan kawasan hutan dengan infrastruktur kolaborasi yang khusus.
Regulasi kawasan hutan, pola pengelolaan wilayah sungai dan pengembangan transportasi sungai memiliki kebijakan yang khas dan berbeda kepentingan antara satu dengan lainnya. menyelaraskan kebijakan yang ada untuk perencanaan transportasi sungai pada lintas Muara Situlen - Singkil agar sesuai dengan fungsi yang diharapkan. Keintegrasian perencanaan ini merupakan bagian strategis agar tercapainya upaya pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Strategi dan rencana terpadu dalam mengembangkan transportasi sungai akan menyelesaikan kebutuhan pengelolaan wilayah sungai dan perlindungan hutan secara terintegrasi. Kesatuan jaringan yang berada dalam satu kawasan ekosistem lingkungan diarahkan untuk lebih memperhatikan kelestarian lingkungan sungai dalam kawasan hutan dari Muara Situlen sampai dengan Singkil sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 5 dibawah ini.
Gambar 5. Integrasi Jaringan Transportasi Sungai dengan Pola Ruang Kawasan
Sumber:  Diolah dari Rancangan Qanun Tata Ruang Wilayah Kab. Aceh Tenggara, Kota Sulussalam dan Kab. Aceh Singkil


Kebutuhan transportasi dan perlindungan lingkungan kawasan TNGL dapat ditempuh langkah perencanaan terintegrasi infrastruktur kolaborasi dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Kolaborasi dijalankan dengan terlebih dahulu membangun kesepahaman dan pemetaan konflik melalui diskusi, dialog dan pertemuan yang mengedepankan keterlibatan masyarakat. Pengawasan kolaborasi dapat dijalankan dengan membentuk kelembagaan kolaborasi. Beberapa pihak yang berkepentingan dalam pengembangan transportasi sungai Muara Situlen - Singkil adalah Dinas Perhubungan Aceh, Dinas Kehutanan Aceh, Pemerintah Kabupaten/Kota, Balai TNGL, Balai WS Alas Singkil dan masyarakat.
Berdasarkan regulasi yang berlaku saat ini, maka dalam jangka pendek terdapat dua metode kolaborasi yang dapat dikembangkan pada transportasi sungai Muara Situlen - Singkil. Pertama, kolaborasi dalam penyelenggaraan wisata alam. Keberadaan transportasi sungai Muara Situlen - Singkil yang melintasi TNGL berpotensi untuk dapat dijadikan sarana penunjang bagi kegiatan pariwisata yang menonjolkan keanekaragaman hayati sebagai daya tarik/atraksi bagi pengunjung kawasan taman nasional tersebut. Kedua, kolaborasi dalam Pengamanan Potensi Kawasan. Penjagaan hutan Konservasi TNGL merupakan suatu hal yang sangat sulit untuk dilakukan sendiri oleh Balai TNGL mengingat luasnya kawasan Taman Nasional, keterlibatan dan dukungan para pihak perlu terus ditingkatkan dalam bentuk koordinasi multi sektor. Selain itu, pemberdayaan masyarakat dalam menjaga dan memanfaatkan hutan dapat dilakukan oleh LSM melalui pendampingan, sehingga masyarakat tidak menjadi perusak tetapi terlibat dalam penjagaan hutan (social buffer).
Konsep kolaborasi untuk jangka panjang, peran transportasi sungai sebagai sarana angkutan penumpang dan barang dalam rangka mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat perlu diakomodir melalui penyiapan  regulasi yang mengatur kolaborasi transportasi sungai dalam kawasan hutan dalam bentuk keputusan bersama Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kehutanan. Dengan tersedianya kolaborasi transportasi sungai secara khusus, maka permasalahan keterbatasan akses transportasi masyarakat yang berada dalam kawasan hutan mampu teratasi, sehingga pembangunan berkelanjutan jaringan transportasi dalam kawasan hutan dapat diterapkan pada kasus serupa.



KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan:
1.   Penyediaan jaringan transportasi sungai dalam suatu kawasan hutan dapat ditempuh melalui kolaborasi yang terintegrasi untuk penjagaan hutan dan operasional transportasi sungai. Lingkup kolaborasi transportasi sungai secara regulasi saat ini masih terbatas pada kegiatan wisata alam dan jasa lingkungan sehingga peran transportasi sungai sebagai sarana mobilisasi penumpang dan barang antar kawasan belum dapat dikembangkan.
2.     Perlindungan kawasan hutan dan penyediaan akses transportasi dapat dintegrasikan dengan pengelolaan wilayah sungai yang selaras pada bahagian hulu, tengah dan hilir sehingga dapat menghindari terjadinya konflik pemanfaatan lahan. Pengelolaan wilayah sungai dengan fungsi konservasi harus menitik beratkan adanya keterlibatan masyarakat yang berada dalam kawasan hutan.
3.     Perencanan transportasi sungai dalam kawasan hutan konservasi dengan tujuan membuka isolasi daerah dapat dikoordinasikan melalui penyediaan infrastruktur kolaborasi yang didasarkan pada tujuan integrasi masing-masing lokasi dan integrasi jaringan transportasi sungai secara keseluruhan;
Saran-saran
1.     Agar terlaksananya konsep kolaborasi yang benar-benar sesuai untuk diterapkan maka diperlukan kajian secara detail potensi dan cara penerapannya di lapangan agar tidak menimbulkan dampak yang buruk bagi perlindungan lingkungan. Perlu penyiapan keputusan bersama Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kehutanan yang mengatur kolaborasi angkutan sungai dalam kawasan hutan sehingga angkutan sungai dapat menjadi alternatif angkutan umum yang menjangkau daerah pedalaman sekaligus berperan untuk mendukung penjagaan dan penyelamatan hutan. Model pemecahan masalah pada kasus ini dapat diterapkan pada tempat-tempat lain yang memiliki keterbatasan akses transportasi akibat perlindungan fungsi kawasan hutan.
2.     Pemerintah Aceh selaku pembina teknis penataan ruang kabupaten/kota perlu menata ulang dan mensinergikan pemanfaatan sungai Alas – Singkil di dalam tata ruang serta dituangkan ke dalam Rencana Strategis (Renstra) sebagai alternatif moda transportasi yang melewati kawasan hutan dengan tetap mempertahankan fungsi hutan. Dengan adanya paradigma baru dalam konservasi hutan yang memiliki dimensi sosial ekonomi jangka panjang guna mendukung pembangunan berkelanjutan, maka  peran masyarakat dalam penentuan kebijakan secara bottom-up (participatory) perlu diwujudkan, termasuk dalam hal perencanaan dan penyediaan akses transportasi dan perlindungan hutan
3.     Diperlukan kajian lanjutan untuk implementasi kolaborasi transportasi sungai di kawasan hutan, khususnya terkait dengan penyiapan detail infrastruktur kolaborasi, penyempurnaan kriteria dalam penetapan peran dan hirarkhi infrastruktur kolaborasi yang akan digunakan sebagai dasar dalam penyusunan Standard Operating Procedure (SOP), kelembagaan dan skema pendanaan.

DAFTAR PUSTAKA
Albert Napitupulu, 2013, Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan, PT Penerbit IPB Press, Bogor.
Hasni, 2008. Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Kisah Sukses Kolaborasi Konservasi, Membangun Optimisme Kelestarian Hutan, www.kompas.com
Kajian Masterplan Sungai Muara Situlen - Gelombang - Singkil, Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika Aceh, 2013.
Muhammad Erwin, 2009, Hukum Lingkungan, dalam Sistem Kebijaksanaan Lingkungan Hidup,  PT Rafika Aditama, Bandung.
Nilai Eksistensi dan Potensi, www.gunungleuser.or.id
Nasution, M Nur. 2004. Manajemen Transportasi (Edisi Kedua). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Pola Pengelolaan Wilayah Sungai Alas – Singkil.Dinas Sumber Daya Air Aceh, 2012.
Rencana Kerja Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Peningkatan Jalan.Dinas Bina Marga Aceh, 2014.
Studi Tinjau Ulang Tataran Transportasi Wilayah Provinsi Aceh, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan, 2012.
Susantono Bambang. 2009, 1001 Wajah Transportasi Kita, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
United Nation. 2007, Indicators of Sustainable Development: Guidelines and Methodologies, New York.
Wiratno. 2012, Solusi Jalan Tengah, Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung.Kementerian Kehutanan RI.Jakarta.