Jumat, 15 Januari 2016

PENDEKATAN TATA RUANG WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN TRANSPORTASI MULTIMODA
(Penentuan Jalur Revitalisasi Kereta Api Aceh)


Junaidi Ali
Kepala Bidang Program dan Pelaporan Dishubkomintel Aceh



Abstrak

Kebijakan pembangunan transportasi belum mampu mendorong berkembangnya sektor industri dan meningkatkan daya saing daerah yang menitikberatkan pada efisiensi dan efektivitas pergerakan barang, keterpaduan jaringan prasarana transportasi memiliki dampak langsung terhadap aksesibilitas ruang kawasan. Peranan transportasi multimoda dirasakan semakin mendesak untuk dikembangkan di Indonesia disebabkan oleh masih lemahnya kapasitas sistem logistik nasional. Strategi demand follow supply dalam perencanaan transportasi perlu dipertimbangkan untuk mendorong interaksi positif transportasi dengan ruang wilayah. Pendekatan interaksi tata ruang wilayah dengan transportasi menuju terciptanya transportasi multimoda masih menjadi persoalan dan belum memberi kontribusi yang signifikan untuk pertumbuhan ekonomi wilayah. Tulisan ini akan menggunakan aspek pendekatan tata ruang wilayah dalam menyusun penentuan jalur revitalisasi kereta api, dengan mempertimbangkan instrumen tata ruang dan instrumen teknis penentuan jalur akan dapat mengintegrasikan transportasi pada lokasi pusat-pusat kegiatan, kawasan industri dan kawasan pelabuhan yang ditetapkan dalam tata ruang wilayah, sehingga terwujudnya pengembangan transportasi multimoda.


Kata Kunci: tata ruang wilayah, transportasi multimoda, jalur kereta api

PENDAHULUAN
Strategi pembangunan transportasi mengenal semboyan Supply follow demand dan demand follow supply. Strategi supply follow demand atau penawaran mengikuti permintaan merupakan tersedianya fasilitas transportasi untuk menunjang kegiatan-kegiatan pada sektor lain. Perencanaan transportasi demikian berbasis pada kebutuhan pelayanan jasa transportasi pada sektor-sektor lain yang sudah tersedia lebih dahulu. Sebaliknya, demand follow supply atau permintaan mengikuti penawaran adalah penyediaan fasilitas transportasi dilakukan lebih dahulu dengan tujuan berkembangnya kegiatan produksi sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh wilayah tersebut dengan menggunakan jasa transportasi yang disediakan.
Perencanaan transportasi Supply follow demand berbasis pada terciptanya keseimbangan  antara permintaan dan penawaran. Kelemahan dari strategi ini adalah perencanaan proyeksi kebutuhan infrastruktur (supply) tidak pernah mencapai keseimbangan dengan permintaan (demand), strategi ini juga tidak mampu menjawab tujuan pengembangan ekonomi wilayah serta dampak yang ditimbulkan dalam bidang sosial, lingkungan dan kesenjangan spasial. Perencanaan transportasi masa depan harus didesain secara tepat dan berkelanjutan (sustainable), dengan mengedepankan strategi demand follow supply, transportasi diarahkan untuk mendorong berkembangnya wilayah dengan berbasis pengembangan tata ruang wilayah.
Pengembangan wilayah memiliki tiga unsur fundamental yaitu adanya pusat-pusat kegiatan, wilayah pengaruh atau wilayah pelayanan serta jaringan transportasi yang menghubungkan  pusat-pusat kegiatan dengan wilayah pengaruhnya. Jaringan transportasi tersebut meliputi jaringan prasarana dan jaringan pelayanan. Sebagai salah satu unsur utama pengembangan wilayah, maka jaringan prasarana dan jaringan pelayanan harus menjangkau seluruh wilayah secara merata sehingga dapat menimbulkan interaksi sosial dan peningkatan ekonomi wilayah dengan ketersediaan aksesibilitas transportasi yang lancar.
Peningkatan aksesibilitas wilayah membutuhkan ketersediaan dan keterpaduan jaringan transportasi yang efektif dan efisien terutama dalam hal pengangkutan barang. Keterpaduan jaringan transportasi ini tidak hanya berpedoman pada penggunaan satu moda saja (unimodal transport of goods), tetapi berpeluang untuk penggunaan dua atau lebih moda (multimodal transport). Untuk mencapai efisiensi, transportasi barang harus memilih kombinasi moda yang sesuai, kombinasi kereta api dan pelabuhan dengan tetap memperhatikan jarak angkut merupakan kombinasi moda yang paling sesuai untuk pengangkutan barang secara massal.
Rencana pengembangan transportasi multimoda melalui pendekatan tata ruang diyakini adalah suatu pendekatan yang ideal  dalam perencanaan transportasi. Pendekatan tata ruang wilayah dapat mendorong efektifitas pengembangan ekonomi wilayah beserta efisiensi transportasi. Melalui studi kasus revitalisasi kereta api Aceh, maka tulisan ini akan menerapkan konsep pendekatan tata ruang wilayah pada rencana pengembangan transportasi multimoda.


Rumusan Masalah
Pengembangan berbagai moda transportasi dalam satu kesatuan jaringan sangat dipengaruhi oleh arahan struktur ruang wilayah. Keterpaduan antara pengembangan wilayah dengan penyediaan jaringan infrastruktur transportasi akan memberikan peluang pengembangan transportasi multimoda. Berpedoman pada kebijakan pembangunan wilayah pada Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh serta rencana revitalisasi kereta api Aceh, maka untuk mencapai pengembangan transportasi multimoda perlu dirumuskan bagaimana merencanakan jalur revitalisasi kereta api Aceh dengan menggunakan pendekatan tata ruang wilayah.


Tujuan Penelitian
Perencanaan transportasi yang efektif dan efisien dilaksanakan dengan pertimbangan strategi demand follow supply. Strategi perencanaan transportasi ini dilaksanakan dengan mengedepankan pendekatan kesesuaian arahan struktur ruang kawasan. Keterpaduan antara berbagai moda transportasi dan kesesuaian dengan tata ruang wilayah akan mampu menciptakan efisiensi pergerakan barang. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
a.     Penentuan jalur kereta api yang mendorong berkembangnya pusat-pusat kegiatan, kawasan industri dan lokasi pusat perdagangan dan distribusi  berdasarkan tata ruang wilayah;
b.     Mengintegrasikan jalur revitalisasi kereta api dengan pelabuhan untuk transportasi barang dalam pengembangan transportasi multimoda.

Metodologi Penelitian
Transportasi sebagai servicing sector adalah memberikan pelayanan kepada kegiatan sektor-sektor lain, analisis kebutuhan transportasi melibatkan beberapa disiplin lain untuk membahas permintaan dan penawaran, pendapatan dan investasi, pengembangan wilayah serta kebijakan dan perencanaan pembangunan (Rahardjo Adisasmita, 2015). Penelitian ini akan menelaah interaksi antara tata ruang wilayah dan transportasi, khususnya rencana revitalisasi kereta api Aceh. Penentuan jalur kereta api menggunakan aplikasi ArcGIS dengan memanfaatkan data tematik yang tersedia dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) berdasarkan Qanun Aceh No.19 Tahun 2013.
Rekomendasi studi-studi terdahulu dimanfaatkan untuk menentukan jalur kereta api berdasarkan  ruang lingkup Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.11 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penetapan Trase Jalur Kereta Api, dengan mempertimbangkan instrumen tata ruang meliputi aksesibilitas kawasan dan identifikasi dampak lingkungan; dan instrumen teknis penentuan jalur meliputi pengalokasian ruang perencanaan dan ruang operasi. Peningkatan aksesibilitas kawasan dinilai melalui adanya integrasi jalur revitalisasi dengan pusat kegiatan, kawasan industri dan kawasan pelabuhan. Kesesuaian penggunaan lahan menggunakan arahan tata ruang wilayah untuk menganalisis identifikasi dampak lingkungan.

INTERAKSI TATA RUANG WILAYAH DENGAN TRANSPORTASI
Perencanaan transportasi merupakan suatu proses yang dinamis dengan mengedepankan pertimbangan tata guna lahan. Perencanaan transportasi tanpa pengendalian tata guna lahan adalah mubazir karena perencanaan transportasi pada dasarnya adalah usaha untuk mengantisipasi kebutuhan akan pergerakan di masa mendatang, dan faktor aktivitas yang dicanangkan merupakan dasar analisisnya (Ofyar Z. Tamin, 2000).
Interaksi antar wilayah menunjukkan bahwa penentuan zonasi kawasan memiliki hubungan bersifat siklus atau feedback cycle yang saling mempengaruhi dengan jaringan transportasi. Zonasi kawasan (permukiman, industry atau komersil) yang diatur dalam tata ruang wilayah menentukan area lokasi manusia beraktivitas. Keterbatasan kemampuan masing-masing wilayah menciptakan interaksi antar wilayah melalui pergerakan manusia dan barang untuk memenuhi kebutuhan. Interaksi antar wilayah ini terjadi melalui sebaran infrastruktur jaringan transportasi yang menentukan tingkat aksesibilitas. Sebaran dari aksesibilitas kawasan ini pada akhirnya akan kembali mempengaruhi pola tata guna lahan (Michael Wegener&Franz Furst, 1999).
Aksesibilitas Lokasi dan Dampak Lingkungan
Interaksi antara tata ruang wilayah dengan jaringan transportasi telah lama dikaji oleh para ahli dan membuktikan bahwa aksesibilitas wilayah merupakan isu utama dan tujuan dalam interaksi tersebut. Wilayah yang memiliki tingkat aksesibilitas tinggi memiliki daya tarik yang lebih besar dan kemampuan untuk berkembang. Selain meningkatkan aksesibilitas kawasan, transportasi juga mampu mengembangkan ekonomi lokal dan regional melalui efisiensi biaya transportasi. Akan tetapi, hal ini tidak selamanya benar, pada negara yang sudah maju dimana transportasinya telah lebih baik, keberadaan infrastruktur transportasi terkadang tidak memberi dampak apapun atau bahkan memberikan dampak negatif terhadap perekonomian. Efisiensi biaya transportasi merupakan upaya untuk mengintegrasikan jaringan transportasi dengan tata ruang wilayah, berbagai model pendekatan berkembang sesuai dengan sasaran yang diinginkan. Pendekatan perencanaan transportasi khususnya pergerakan barang sangat terkait dengan aktivitas industri (Tolley&Turton, 1995).
Produksi industri sangat menekankan penghematan biaya transportasi melalui efisiensi investasi pada penentuan lokasi, biaya produksi industri terdiri atas tiga bagian yaitu biaya transportasi, biaya pekerja dan pola lokasi, biaya paling efisien diperoleh dengan mendapatkan biaya lokasi yang memiliki biaya pengangkutan bahan/material ke lokasi pengolahan dan biaya pendistribusian menuju pasar paling rendah (Marsudi Djojodipuro, 1992).
Pengalokasian ruang untuk kegiatan tertentu dalam rencana tata ruang wilayah mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan zonasi kawasan. Penataan ruang kawasan berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budidaya, penyelenggaraan tata ruang wilayah seharusnya dapat mewujudkan ruang wilayah yang produktif dan  berkelanjutan dengan berjalannya proses produksi dan distribusi secara efisien yang memberikan nilai tambah ekonomi serta memperhatikan kondisi kualitas lingkungan (Budi Supriyatno, 2009).
Perencanaan transportasi diarahkan melalui rencana tata ruang wilayah sebagai bagian dari dukungan terhadap rencana tata ruang wilayah. Karakteristik berbagai moda transportasi memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, Interaksi antara penggunaan lahan dan moda transportasi dalam mengejar efisiensi terus berevolusi menuju keseimbangan, saat ini mengedepankan interaksi transportasi dengan tata ruang wilayah, pada masa yang akan datang interaksi transportasi dengan lingkungan hidup akan menjadi kebutuhan mutlak.
Perencanaan transportasi yang terintegrasi dengan tata ruang wilayah harus memperhatikan  instrumen tata ruang yaitu pertimbangan terhadap dukungan aksesibilitas dan dampak lingkungan. Pertimbangan dukungan aksesibilitas bertujuan untuk memberi ketersediaan yang cukup untuk melayani pergerakan barang dari dan menuju  pusat kegiatan, kawasan industri dan kawasan pelabuhan. Identifikasi dampak lingkungan perlu mendapat perhatian dengan mengurangi penggunaan kawasan produktif pertanian, perkebunan dan perikanan yang menyebabkan terganggunya keseimbangan sosial, demikian juga untuk kawasan pemukiman yang dapat berakibat kebisingan dan kecelakaan.
Pengalokasian Ruang Untuk Jalur Kereta Api
Perkeretaapian merupakan moda transportasi yang memiliki karakteristik dan keunggulan dalam kemampuannya untuk mengangkut penumpang dan barang secara massal, hemat energi serta hemat dalam penggunaan ruang. Perencanaan pembangunan perkeretaapian dilaksanakan dengan mempertimbangkan kelayakan secara teknis dan ekonomis. Secara teknis diartikan, jalur kereta api harus dapat dilalui kendaraan rel dengan aman dan tingkat kenyamanan tertentu selama umur konstruksinya. Secara ekonomis diharapkan agar pembangunan dan pemeliharaan konstruksi tersebut dapat diselenggarakan dengan biaya sekecil mungkin (Hermanto Dwiatmoko, 2013).


Pembangunan jalur kereta api didasarkan pada penetapan jalur yang mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.11 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penetapan Trase Jalur Kereta Api. Penentuan trase jalur kereta api paling sedikit memberi informasi tentang titik koordinat, lokasi stasiun dan rencana kebutuhan lahan yang sesuai atau diluar rencana induk perkeretaapian. Titik koordinat trase jalur kereta api diperoleh dengan metode dan instrumen pengumpulan data serta standar pengolahan data geospasial.
Koordinat jalur kereta api merupakan dasar penetuan bagi pengalokasian ruang untuk perencanaan dan pengalokasian ruang untuk operasi. Pengalokasian ruang untuk perencanaan meliputi kebutuhan lahan bagi tersedianya Ruang Manfaat Jalur Kereta Api (Rumaja), Ruang Milik Jalur Kereta Api (Rumija) dan Ruang Pengawasan Jalur Kereta Api (Ruwasja). Sedangkan pengalokasian ruang untuk operasi membutuhkan adanya Ruang Bebas dan Ruang Bangun.
Konstruksi jalan rel dan fasilitas operasinya dibangun pada area Ruang Manfaat Jalur kereta api. Area ini juga menjadi tempat bagi penempatan fasilitas operasi kereta api serta bangunan pelengkap. Ruang milik jalur kereta api meliputi bidang tanah di kiri dan kanan ruang manfaat jalur. Ruang ini berfungsi sebagai penyangga Ruang Manfaat Jalur.  Batas ruang milik jalur, paling sedikit memiliki lebar 6 (enam) meter dari batas paling luar sisi kiri dan kanan Ruang Manfaat Jalur. Ruang pengawasan jalur kereta api meliputi bidang tanah atau bidang lain di kiri dan di kanan ruang milik jalur. Ruang pengawasan digunakan kelancaran operasi kereta api. Batas ruang pengawasan jalur adalah masing-masing selebar 9 (sembilan) meter diukur dari batas paling luar sisi kiri dan kanan Ruang Milik Jalur.
Ruang Bebas dan Ruang Bangun diatur lebih jelas dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 24 Tahun 2015 tentang Standar Keselamatan Perkeretaapian yang menyebutkan bahwa ruang operasional kereta api selain meliputi ruang bebas, ruang bangun juga menyertakan pertimbangan standar geometri, beban gandar  dan frekuensi. Batas ruang bangun diukur dari sumbu jalan rel pada tinggi 1 meter sampai 3,55 meter. Jarak ruang bangun tersebut ditetapkan seperti dalam Tabel.1 berikut.
Tabel. 1 Jarak Ruang Bangun Jalur Kereta Api

Sumber: Permenhub Nomor PM.24 Tahun 2015

Penentuan jalur kereta api juga meliputi informasi lokasi stasiun. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 33 Tahun 2011 tentang Jenis, Kelas dan Kegiatan di Stasiun Kereta Api menjelaskan stasiun sebagai tempat pemberangkatan dan pemberhentian kereta api, menurut jenisnya stasiun kereta api terbagi dalam stasiun penumpang, stasiun barang dan stasiun operasi. Stasiun diklasifikasikan dalam kelas besar, kelas sedang dan kelas kecil yang didasarkan jumlah angka kredit, komponen jumlah penumpang dan barang masing-masing dengan angka kredit 20 persen dan 5 persen, selebihnya sebanyak 75 persen adalah fasilitas operasi, jumlah jalur, fasilitas penunjang dan fasilitas lalu lintas. Untuk kepentingan bongkar muat barang di luar stasiun, dapat dibangun jalan rel yang menghubungkan antara stasiun dan tempat bongkar muat barang.
Berdasarkan pada peraturan-peraturan Menteri Perhubungan maka dapat disimpulkan komponen penting dalam instrumen teknis penentuan jalur. Penentuan jalur kereta api paling kurang meliputi penetuan koordinat, lokasi stasiun  dan rencana kebutuhan lahan. Untuk lebar jalur hanya dibatasi pada area tersedianya ruang milik jalur sebagai batas lahan yang harus disertifikasi. Lokasi stasiun akan ditentukan berdasarkan pusat kegiatan dan pertimbangan terhadap kawasan yang dilayani serta masukan studi kelayakan. Pengalokasian ruang jalur dan lokasi stasiun akan mengidentifikasi jumlah kebutuhan lahan.

ARAH PENGEMBANGAN TRANSPORTASI BARANG ACEH

Kebijakan pengembangan transportasi barang nasional merupakan bagian penyelenggaraan Sistem Logistik Nasional (Sislognas) yang bertumpu pada pengembangan transportasi multimoda. Transportasi multimoda secara nasional berpedoman pada Peraturan Pemerintah nomor 8 Tahun 2011 tentang Angkutan Multimoda. Transportasi multimoda didefinisikan sebagai angkutan barang dengan menggunakan paling sedikit 2 (dua) moda angkutan yang berbeda atas dasar 1(satu) kontrak yang menggunakan dokumen angkutan multimoda dari satu tempat diterimanya barang oleh operator angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang tersebut.
Persoalan mendasar yang terjadi dalam penyelenggaraan transportasi multimoda secara nasional adalah kelemahan dalam mewujudkan keterpaduan dari beberapa pelayanan moda transportasi. Keterpaduan yang diinginkan tidak hanya sekedar bermaksud untuk mengkombinasikan berbagai moda transportasi, tetapi lebih kepada upaya meningkatkan pengintegrasian dengan kawasan-kawasan yang menjadi sumber pergerakan transportasi barang.
Transportasi Barang dan Pengembangan Ekonomi Wilayah
Penyelenggaraan transportasi multimoda yang mendukung Sistem Logistik Nasional belum memperlihatkan efisiensi dan efektivitas pergerakan barang. Hasil kajian yang dilaksanakan oleh World Bank  pada tahun 2014 memperlihatkan bahwa peringkat Logistic Performance Index Indonesia adalah berada pada posisi 53 dari 160 negara yang disurvei, dan salah satu penyebabnya adalah kurangnya kualitas dan kuantitas infrastruktur untuk perkembangan transportasi multimoda.
Konsep transportasi unimodal yang bertumpu pada angkutan jalan selama ini semakin memperburuk Sistem Logistik Nasional. Kondisi prasarana jalan semakin membutuhkan investasi dalam jumlah besar untuk perawatan. Biaya transportasi barang mengeluarkan biaya tinggi untuk operasional yang membebani penyelenggara transportasi barang.
Pusat-pusat kegiatan yang merupakan pasar bagi transportasi barang di Aceh selama ini masih sangat bergantung pada angkutan jalan dengan tingkat aksesibilitas yang bervariasi. Penyelenggaraan transportasi barang Aceh juga belum mampu membangkitkan produksi pergerakan barang dari wilayah-wilayah industri. Lokasi-lokasi industri yang ada dan telah ditetapkan belum mampu memberikan daya tarik bagi investasi. Pergerakan barang yang tidak adanya perkembangan pertumbuhan industri wilayah dapat terlihat dari volume barang yang bergerak di wilayah Aceh, seperti diperlihatkan pada Tabel.2 berikut ini.

Tabel 2. Jenis Barang Pada Jembatan Timbang Seumadam Tahun 2014

Sumber: Diolah dari Data Dishubkomintel Aceh

Berdasarkan data pada jembatan timbang yang berada di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara dihitung persentase pergerakan barang yang masuk dan keluar dalam satu tahun berdasarkan jenis barang. Data menunjukkan barang masuk yang dominan adalah untuk kebutuhan rumah tangga (konsumsi) dan konstruksi mancapai 75,13 persen. Sedangkan untuk barang yang keluar hasil pengolahan industri hanya berkisar 12,64 persen, hasil pertanian yang dapat menjadi bahan mentah (bahan baku agroindustri) tercatat sebesar 68,91 persen.
Beberapa kawasan industri yang ditetapkan dalam tata ruang Aceh dan hingga saat ini belum menunjukkan tumbuhnya perkembangan barang produksi. Pendekatan tata ruang wilayah dalam pembangunan transportasi diharapkan dapat memberi dukungan terhadap pengembangan wilayah khususnya perkembangan kawasan industri yang telah ditetapkan. Metodologi perencanaan transportasi barang perlu dikembangkan dengan menitikberatkan pada arah pengembangan transportasi yang mendorong pembangunan ekonomi wilayah terutama dalam hal transportasi barang dan perdagangan, maka penyediaan infrastruktur transportasi akan  meningkatkan produktivitas daerah serta memfasilitasi pergerakan barang industri dan mempengaruhi lokasi industri (Noor Mahmudah dkk, 2011). Perencanaan transportasi yang menerapkan strategi demand follow supply akan mendorong pengembangan kawasan industri yang menghasilkan barang produksi dalam jumlah besar. Transportasi memiliki peran dan fungsi dalam mendukung interaksi antar wilayah dengan menjembatani kawasan produksi dengan kawasan pemasaran (Sakti Aji Adisasmita, 2012).
Pusat Perdagangan dan Distribusi Logistik
Pendekatan perencanaan transportasi multimoda dijalankan untuk mendukung wilayah dari sistem manajemen rantai pasok (supply chain management). Sistem rantai pasok secara keruangan membutuhkan suatu lokasi tempat terpusatnya berbagai kegiatan  logistik, yang mampu menghubungkan antara operator logistik dengan pasar secara efisien (Kabaskin, 2010). Lokasi pusat logistik tersebut biasanya memiliki prasarana/jaringan transportasi berskala hub/pengumpul (pelabuhan dan bandara), agar mampu mengakses pasar secara efisien. Dalam kondisi tersebut lokasi pusat distribusi mejadi sangat strategis yang juga menjadi bagian dari sistem prasarana transportasi multimoda.
Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) telah menetapkan struktur pusat-pusat kegiatan berdasarkan hirarkinya, dan salah satu hal yang spesifik dalam RTRWA adalah penentuan pusat ekonomi kawasan berbasis agroindustri yang disebut dengan Aceh Trade and Distribution Centre (ATDC) yang dibagi dalam 6 (enam) zona yang tiap zona terdiri dari beberapa kabupaten/kota, masing-masing zona memiliki logistic center atau pusat agroindustri. Jalur revitalisasi kereta api Aceh direncanakan melewati 3 (tiga) zona yaitu zona pusat, zona utara dan zona timur. Pusat agroindustri yang ditetapkan dalam tata ruang diarahkan untuk berkembangnya produksi industri yang berorientasi ekspor, dengan demikian diharapkan masing-masing zona dapat mengembangkan ekonomi wilayahnya dengan produksi hasil industri yang mengedepankan bahan baku dari hasil pertanian. Pusat agroindustri, kawasan industri nasional serta pusat-pusat kegiatan yang dilalui revitalisasi kereta api masing-masing zona dapat dilihat pada Tabel.3 berikut:
Tabel 3. Pusat Kegiatan, Kawasan dan ATDC

Revitalisasi Kereta Api
Jalur kereta api dari Ibukota Provinsi Aceh (Banda Aceh) sampai ke Ibukota Sumatera Utara (Medan) dibangun selama 40 tahun yang dimulai dari tahun 1876 sampai tahun 1912. Namun, seiring berkembangnya transportasi jalan raya dan perubahan-perubahan sosial ekonomi dan politik maka jalur kereta api ini ditutup pada tahun 1974. Setelah terjadinya bencana tsunami dan didorong pada kepedulian dan bantuan masyarakat dunia, SNCF Internasional dengan semangat solidaritas melakukan studi kelayakan perkeretaapian Aceh. Proyeksi perkembangan lalu lintas angkutan barang dan penumpang sampai dengan tahun 2030 dapat dilihat pada Tabel.4. Skenario jalur tunggal menyebabkan tidak berkembangnya jumlah penumpang pada jalur jarak jauh akibat terbatasnya sirkulasi dan panjang rangkaian.
Tabel 4. Estimasi Perkembangan Lalu lintas Kereta Api


Sumber: Studi Perkeretaapian Nanggroe Aceh Darussalam, SNCF International

Studi yang dilakukan oleh SNCF Internasional juga memperhatikan biaya-biaya eksternal untuk efisiensi transportasi seperti pengurangan kecelakaan di jalan raya, penghematan waktu, peluang industri dan pertanian serta penghematan penggunaan bahan bakar. Rekomendasi studi kelayakan yang diterapkan dalam pembangunan kereta api Aceh, salah satunya adalah pembangunan lebar spur 1.435 mm yang hanya terbangun sepanjang lebih kurang 11 Km di Kabupaten Aceh Utara. Permasalahan utama dalam pelaksanaan pembangunan adalah perubahan pemanfaatan lahan pada jalur eksisting. Setelah penghentian operasi kereta api Aceh, sebagian besar jalur eksisting kereta api Aceh telah berubah menjadi pusat-pusat pertokoan dan tumbuhnya permukiman pada sisi jalur. Alternatif pemilihan rute baru mulai dievaluasi pada saat Pemerintah Aceh mulai membahas penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Induk Perkeretaapian Aceh. Tahapan  rencana revitalisasi kereta api lintas timur sepanjang 420,5 Km sesuai Rencana Induk Perkeretapian Aceh diperlihatkan pada Gambar.1 berikut.
Gambar 1. Rencana Tahapan Pembangunan Revitalisasi Kereta Api Aceh

               Sumber: Rencana Induk Perkeretaapian Aceh
Rencana Induk Perkeretaapian Aceh yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur Aceh no. 58 Tahun 2014 yang merupakan dokumen perencanaan sebagai penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh. Kesesuaian antara Rencana Induk Perkeretaapian dengan Rencana tata Ruang Wilayah diharapkan dapat mendorong percepatan pembangunan ekonomi wilayah dan perkembangan transportasi multimoda.
Perkembangan transportasi multimoda di Aceh yang masih terkendala dengan efektifitas keterpaduan antar moda, ketika kebutuhan transportasi makin meningkat, sistem transportasi barang yang multimoda lebih menguntungkan baik dari biaya investasi prasarana maupun biaya total operasi transportasinya. Kebijakan transportasi barang multimoda di provinsi Aceh seharusnya memprioritaskan revitalisasi kereta api dibandingkan dengan rencana jalan baru, hal ini untuk mendorong timbulnya pergerakan barang dengan biaya terendah yang akan dipilih oleh pengguna (Sofyan M.Saleh, dkk: 2010). 
Peran Dan Fungsi Pelabuhan

Pelabuhan berperan sebagai terminal yang mempertemukan moda transportasi baik intermodal maupun multimodal untuk mendorong lancarnya transaksi perdagangan serta perindustrian bagi pembangunan ekonomi (D.A. Lasse, 2014). Kebijakan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menekankan pentingnya transportasi laut berupa konsep Pengembangan Tol Laut. Konsep ini bertujuan untuk menurunkan biaya logistik nasional. Salah satu isu utama pengembangan tol laut adalah penyediaan infrastruktur yang terdiri dari 24 pelabuhan pendukung (5 pelabuhan Hub dan 19 pelabuhan feeder). Salah satu pelabuhan feeder dalam kebijakan Tol Laut adalah Pelabuhan Malahayati di Aceh, arah pengembangan pelabuhan ini seharusnya ikut mempertimbangkan pertumbuhan wilayah.
Kekuatan utama dalam pertumbuhan wilayah adalah permintaan eksternal akan barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu wilayah dan diekspor ke wilayah lain, permintaan barang dan jasa yang diekspor tersebut akan membentuk keterkaitan perkembangan ekonomi wilayah dengan tumbuhnya kegiatan produksi untuk memperkuat kedudukan yang menguntungkan dalam sektor ekspor wilayah tersebut (Sakti Aji Adisasmita, 2011). Perkembangan ekspor pada tiga pelabuhan yang berstatus diusahakan belum menunjukan dukungan terhadap perkembangan kegiatan produksi industri. Tabel.5, memperlihatkan aktivitas ekspor impor pelabuhan di pesisir timur Aceh, berdasarkan jumlah dan persentase pergerakan barang ekspor menggambarkan bahwa peran pelabuhan belum membangkitkan ekonomi wilayah. Aktivitas bongkar muat dalam tahun 2014 memperlihatkan persentase yang besar untuk ekspor di pelabuhan Krueng Geukueh, akan tetapi muatan tersebut adalah dari kelompok jenis minyak dan gas bumi, secara keseluruhan menunjukan belum ada perkembangan produk industri  wilayah yang manfaatkan  pelabuhan sebagai pintu gerbang pergerakan barang.

Tabel 5. Aktivitas Ekspor Impor Melalui Pelabuhan Tahun 2014

Sumber: Diolah dari Data Dishubkomintel Aceh

Rencana pengembangan pelabuhan Malahayati dalam konsep Tol Laut dapat dikatagorikan sebagai penyediaan prasarana transportasi yang dibangun mendahului permintaan jasa transportasi dengan harapan supply jasa transportasi akan menciptakan demand. Penyediaan prasarana seperti ini harus memperhatikan kebijakan dan perencanaan yang terkoordinasi.

PENENTUAN JALUR REVITALISASI KERETA API
Penetuan jalur kereta api yang direncanakan dalam penelitian ini memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG), yang merupakan sistem informasi berbasis komputer untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi spasial. SIG mempunyai tujuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan memetakan hasilnya. Data yang akan diolah oleh sistem informasi geospasial merupakan data yang berorientasi geografis dan lokasi yang memiliki sistem koordinat tertentu sebagai dasar referensinya (Lab. GIS Universitas Syiah Kuala, 2015).
Secara umum langkah-langkah analisis data spasial yang menggunakan SIG dimulai dengan analisis geospasial yang merumuskan permasalahan, tujuan, explorasi dan inventarisasi data, menjalankan analisa dan verifikasi hasil analisa (Indarto dan Arif Faisol, 2012). Data yang dipergunakan berupa peta tematik bersumber dari RTRW Aceh yang melakukan pengolahan dan penyimpanan data spasial dengan menggunakan aplikasi ArcGIS. Data informasi lokasi dan atribut dalam sistem informasi geospasial tata ruang Aceh menjadi dasar penentuan jalur kereta api. Analisa penentuan jalur menggunakan instrumen tata ruang dan instrumen teknis penentuan jalur. Sasaran explorasi dan inventarisasi data geospasial dianalisis untuk memperoleh hasil dari penentuan jalur antara lain: Aksesibilitas Pusat Kegiatan dan Kawasan Industri, Identifikasi Dampak Lingkungan dan Kesesuaian Teknis Jalur serta Integrasi dengan Pelabuhan.
Gambar 2. Penggunaan Kawasan Jalur Kereta Api

  Sumber: Diolah berdasarkan RTRW Aceh 2013 – 2033

Penentuan jalur kereta api merupakan langkah-langkah teknis lebih rinci dalam menjabarkan rencana induk yang telah ada. Secara umum, jalur kereta api diarahkan untuk penyediaan prasarana yang berpeluang bagi pengembangan transportasi multimoda dengan memberikan dorongan terhadap aksesibilitas wilayah.
Pertimbangan utama dalam penentuan jalur adalah klasifikasi kawasan berdasarkan zona transportasi Aceh yaitu Zona Pusat, Zona Utara dan Zona Timur. Selanjutnya, pemilihan jalur dilakukan untuk mengakses struktur hirarkhi kota yang ditetapkan dalam tata ruang wilayah, dimana terdapat PKN (Pusat Kegiatan Nasional) dalam hirarkhi teratas, selanjutnya PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) dan yang terakhir adalah PKL (Pusat Kegiatan Lokal), serta terintegrasi dengan pelabuhan. Keberadaan lokasi Industri juga menjadi pertimbangan sebagai kawasan yang membangkitkan pergerakan barang.
Aksesibilitas pada Pusat Kegiatan dan Kawasan Industri
Perhatian utama dalam peningkatan aksesibilitas wilayah berdasarkan tata ruang wilayah adalah peningkatan aksesibilitas pada pusat-pusat kegiatan. Sistem pusat kegiatan dalam rencana struktur ruang wilayah Aceh merupakan pusat kegiatan bagi pelayanan perdagangan dan jasa serta simpul pergerakan umum massal. Dengan demikian PKN yang dilewati jalur revitalisasi kereta api Aceh yaitu Banda Aceh dan Lhokseumawe menjadi prioritas utama untuk diakses. PKN sebagai pusat kegiatan primer melayani kegiatan dalam skala Aceh, nasional dan internasional. Bireuen dan Langsa sebagai PKW merupakan prioritas berikutnya untuk dilalui oleh jalur kereta api. Kawasan perkotaan ini merupakan pusat kegiatan sekunder yang direncanakan dalam tata ruang Aceh untuk berkembang pada masa yang akan datang.
Pusat kegiatan tersier yaitu PKL yang melayani kegiatan skala Kabupaten/Kota tidak seluruhnya dapat diakses. PKL Jantho pada zona pusat tidak terakses karena jalur kereta api diprioritaskan mengakses pelabuhan dengan pertimbangan peluang berkembangnya transportasi multimoda. penyediaan akses menuju PKL Jantho dapat direncanakan jaringan pengembangan jalur kereta api dalam tahap berikutnya, atau bahkan mempertimbangkan PKL Jantho sebagai bagian dalam perencanaan kereta api perkotaan Banda Aceh.
Tata ruang wilayah Aceh memberi perhatian bagi pengembangan kawasan industri dan pergudangan. Dukungan lebih spesifik dalam tata ruang wilayah Aceh adalah penetapan kawasan strategis Aceh yang disebut dengan  ATDC sebagai kawasan pusat perdagangan dan distribusi Aceh. Jalur kereta api diarahkan untuk memberi dukungan tersedianya prasarana dan sarana yang memadai dalam mendorong berkembangnya kawasan industri yang terintegrasi dengan pelabuhan. Penegasan terintegrasinya kawasan industri dan pelabuhan dalam tata ruang wilayah Aceh adalah dukungan kebijakan untuk pengembangan transportasi multimoda pada masa mendatang.  
Identifikasi Dampak Lingkungan dan Kesesuaian Teknis Jalur
Pemenuhan kebutuhan pembangunan harus menyerasikan tata ruang wilayah dalam satu kesatuan yang dinamis dan berkelanjutan. Penyediaan prasarana wilayah yang menjaga keserasian dengan tata ruang wilayah dilaksanakan melalui pengelolaan dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat penggunaan lahan. Dampak lingkungan  dapat diidentifikasikan sejak awal dengan memperhatikan perubahan tata guna lahan yang akan dipergunakan untuk pembangunan jalur kereta api. Identifikasi perubahan tata guna lahan ini menjadi bagian dari analisis dan pengelolaan dampak. Rencana penggunaan lahan untuk revitalisasi kereta api Aceh berdasarkan zonasi kawasan yang dilewati dapat dilihat pada Tabel.6.
Tabel 6. Kebutuhan Penggunaan Lahan

Sumber: Diolah Berdasarkan Data RTRW Aceh 2013 - 2033
Penentuan jalur berupa rangkaian titik koordinat akan menjadi data luas kebutuhan lahan setelah menetapkan lebar jalur (30 meter) untuk rumija yang menjadi batas lahan disertifikasi. Hasil perhitungan menunjukkan penggunaan kawasan permukiman perkotaan paling banyak terjadi pada Zona Utara (79,87 Ha). Penggunaan lahan paling banyak merupakan kawasan perkebunan dan pertanian, lahan perkebunan besar terjadi pada Zona Timur (86,56 Ha). Penggunaan kawasan pertanian lahan basah paling banyak digunakan, keseluruhan kawasan pertanian lahan basah yang digunakan mencapai 350,3 Ha, secara regulasi kawasan ini wajib dilakukan penggantian terhadap kawasan yang dipakai.
Penentuan jalur kereta api telah mempertimbangkan persyaratan teknis jalur secara umum, sedangkan untuk memenuhi persyaratan teknis secara rinci perlu diselesaikan pada tahap detail engineering design. Informasi perbedaan tinggi antar koordinat diperoleh dari analisis spasial dan menjadi dasar dalam pertimbangan perencanaan untuk memenuhi persyaratan teknis jalur, informasi kelandaian jalur berdasarkan koridor tahapan rencana revitalisasi kereta api Aceh digambarkan dalam Gambar.3 berikut.
Gambar 3. Kelandaian Jalur Kereta Api

Sumber: Pengolahan Data Citra SRTM Resolusi 30 Meter

Integrasi Jalur Kereta Api dengan Pelabuhan
Ketiga Pelabuhan pada masing-masing zona telah terhubung dengan jalur kereta api. Pada zona pusat, Pelabuhan Malahayati memiliki akses langsung dengan koridor utama. Pada pelabuhan Krueng Geukuh masih menggunakan jalur eksisting, sedangkan pelabuhan Kuala Langsa pada zona timur, akses didapat dengan membangun jalur khusus menuju pelabuhan, sebagaimana terlihat pada Gambar. 4 dibawah.

Gambar.4 Integrasi Jalur Kereta Api dengan Pelabuhan
Pelabuhan Malahayati yang ditetapkan sebagai feeder dalam program Tol Laut perlu dipersiapkan koneksi yang baik dengan jalur kereta api, lokasi pelabuhan Malahayati dapat menjadi prioritas dalam jangka pendek terealisasinya angkutan barang multimoda. Untuk mendukung hal tersebut penataan rencana induk pelabuhan Malahayati harus segera merincikan pengalokasian areal untuk fasilitas multimoda termasuk penyiapan peralatan pendukung untuk konsolidasi barang/kargo. Pelabuhan Krueng Geukueh sebagai pelabuhan yang melayani zona utara memiliki lahan yang memadai untuk pembangunan prasarana interkoneksi dengan jalur kereta api. Mengingat kawasan ini terdapat dalam rencana tahap awal revitalisasi kereta api, maka rencana terinci integrasi jalur kereta api dan pelabuhan harus menjadi perhatian. Pelabuhan Kuala Langsa direncanakan memiliki akses jalur kereta api tersendiri yang akan menghubungkan dengan jalur utama, kawasan ini akan menjadi tahap akhir pembangunan dalam rencana induk perkeretaapian, integrasi jalur kereta api dengan pelabuhan Kuala Langsa masih dapat dipersiapkan dengan baik.
Integrasi pelabuhan dengan jalur kereta api membutuhkan prasarana stasiun sebagai simpul pergerakan barang, dengan demikian perlu dipersiapkan kawasan lahan yang memadai untuk penempatan area intermodality. Pengintegrasian ini perlu sinkronisasi rencana induk pelabuhan dan area stasiun. Untuk mendukung distribusi pada pusat kegiatan dan kawasan ATDC dapat dipertimbangkan stasiun penumpang dan barang pada satu lokasi, pertimbangan ini dapat ditindak lanjuti dalam perencanaan berikutnya. Kawasan pelabuhan dan kawasan industri membutuhkan stasiun khusus barang dengan fasilitas pelengkap dan teknologi yang digunakan untuk mendukung transportasi multimoda, adapun rencana lokasi simpul pergerakan barang yang membutuhkan prasarana stasiun sebagaimana terdapat pada Tabel. 7 di bawah ini.
Tabel.7 Lokasi Stasiun


 Pengembangan transportasi multimoda adalah upaya efisiensi dalam segala bidang, maka perlu dilakukan perencanaan mendetail penyiapan prasarana dan pemilihan teknologi yang tepat pada setiap simpul pergerakan barang. Keputusan mendesak adalah koordinasi perencanaan untuk menerapkan konsep integrasi kawasan industri dan pusat-pusat kegiatan dengan kawasan pelabuhan dalam bentuk indikasi program dan kegiatan serta pentahapan, khususnya dalam mendukung konsep pengembangan pelabuhan Malahayati sebagai feeder Tol Laut. Sebagai perbandingan dapat belajar dari kegagalan pencapaian target program MP3EI dalam  pembangunan jalur kereta api sepanjang 172 km dan pengembangan pelabuhan Krueng Geukueh yang tidak terealisasi di wilayah Aceh.


KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.     Perencanaan transportasi dengan pendekatan tata ruang wilayah merupakan strategi demand follow supply yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah dengan berkembangnya pusat-pusat kegiatan dan kawasan industri. Keberadaan Pusat ATDC sebagai Logistic Center dalam tata ruang Aceh merupakan keberpihakan pada pengembangan kawasan. Akibat pertimbangan hirarki dan keutamaan multimoda, maka penentuan jalur kereta api tidak dapat mengakomudir semua pusat kegiatan dan kawasan industri untuk terakses.
2.     Keterpaduan jalur kereta api dengan kawasan industri dan kawasan pelabuhan akan mendorong pengembangan konsep transportasi multimoda yang dapat meningkatkan efisiensi pergerakan barang. Jalur kereta api  merupakan penyediaan akses dalam mendorong tumbuhnya pergerakan barang secara massal terutama barang produksi industri yang berorientasi ekspor.
3.     Metodologi analisis spasial sudah memadai untuk kepentingan penentuan jalur kereta api, walaupun data yang tersedia dalam tata ruang wilayah Aceh masih terbatas dan belum secara lengkap mengidentifikasi data semua sektor dan subsektor yang harus didukung oleh transportasi, khususnya data-data yang menimbulkan pergerakan barang.
Saran
1.     Menghindari tumpang tindih peran masing-masing kawasan industri yang tersebar di sepanjang jalur kereta api dalam tata ruang wilayah maka perlu diarahkan spesialisasi produksi berdasarkan potensi masing-masing wilayah. Pusat kegiatan atau kawasan yang tidak dapat diakses jalur kereta api dapat dipertimbangkan jaringan transportasi lainnya, atau bahkan evaluasi terhadap penetapan lokasi kawasan.
2.     Mempersiapkan ketersediaan lahan, fasilitas pendukung dan teknologi yang mengintegrasikan jalur kereta api dengan kawasan pelabuhan dan simpul-simpul pergerakan barang, sehingga perpindahan barang antar moda dapat berlangsung efisien dan berkembangnya transportasi multimoda.
3.     Perencanaan transportasi multimoda dalam pendekatan tata ruang wilayah membutuhkan ruang lingkup data tematik yang sangat beragam, upaya mengoptimalkan pengembangan metodologi dan analisis spasial untuk perencanaan transportasi di masa mendatang diperlukan penyempurnaan pemetaan  data-data tematik  yang lebih sempurna.

DAFTAR PUSTAKA
Budi Supriyatno, 2009, Manajemen Tata Ruang, CV. Media Brilian, Tangerang
D.A. Lasse, 2014. Manajemen Kepelabuhanan, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta
Hermanto Dwiatmoko, 2013. Keselamatan Jalur dan Bangunan Kereta Api, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Indarto dan Arif Faisol, 2012. Konsep Dasar Analisis Spasial, CV. Andi Offset, Yogyakarta
Marsudi Djojodipuro, 1992. Teori Lokasi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta
Michael Wegener, Franz Furst, 1999. Land – Use Transport Interaction: State of The Art, Dortmund University, Germany.
Noor Mahmudah, Danang Parikesit, Siti Malkhamah, Sigit Priyanto, 2011. Pengembangan Metodologi Perencanaan Transportasi Barang Regional, Jurnal Transportasi Vol. 11
Ofyar Z. Tamin, 2000. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Rahardjo Adisasmita, 2015. Analisis Kebutuhan Transportasi, Graha Ilmu, Yogyakarta
Rodney Tolley and Brian Turton, 1995. Transport Systems, Policy and Planning: A Geographical Approach, Pearson Education Limited, England.
Tim Laboratorium GIS, 2015. Panduan ArcGIS Desktop 10, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Sakti  Aji  Adisasmita, 2011. Transportasi dan Pengembangan Wilayah, Graha Ilmu, Yogyakarta
Sakti Aji Adisasmita, 2012. Perencanaan Infrastruktur Transportasi Wilayah, Graha Ilmu, Yogyakarta
Sofyan M. Saleh, Ofyar Z. Tamin, Ade Sjafruddin, Russ Bona Frazila, 2010. Kebijakan Sistem Transportasi Barang Multimoda di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Transportasi Vol. 10.
World Bank, 2014. Logistics Performance Index, The World Bank Office, Jakarta.