Selasa, 28 Februari 2017

 PELAYANAN TRANSPORTASI UDARA DALAM MENDUKUNG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
(Pengembangan Kargo Bandar Udara Maimun Saleh Sebagai Pintu Gerbang Kegiatan Perekonomian)


Junaidi Ali
Kepala Bidang Pengembangan Sistem dan Multimoda Dinas Perhubungan Aceh



Abstrak

Perencanaan pengembangan suatu bandar udara sebagaimana terdapat dalam Tatanan Kebandarudaraan Nasional saat ini mengedepankan pertimbangan Rencana Tata Ruang Wilayah yang menjadi arahan bagi peran, fungsi manfaat dan hirarki bandar udara. Berjalan tidaknya peran yang telah ditetapkan sangat ditentukan oleh tingkat keterkaitan pengembangan fasilitas layanan bandar udara dengan pengembangan ekonomi wilayah hinterlandnya. Akan tetapi, ketersediaan bandar udara secara nasional di beberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum memberikan peran bagi pengembangan potensi ekonomi wilayah. Pertimbangan terhadap Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat menjadi acuan dalam pengembangan suatu bandar udara sebagaimana halnya Rencana Tata Ruang Wilayah agar peran yang telah ditetapkan dalam tatanan kebandarudaraan dapat lebih optimal dijalankan. Penelitian ini akan mengkaji peran Bandar Udara Maimun Saleh Sabang sebagai pintu gerbang perekonomian wilayah dengan menggunakan metode Location Quotient ditentukan komoditas unggulan yang paling potensial untuk ekspor melalui pelayanan kargo udara. Berdasarkan penentuan komoditas unggulan (kapasitas ekspor perekonomian) dan derajat keswasembadaan (self-sufficiency) diperoleh bahwa kegiatan perikanan merupakan kegiatan basis (basic activities) yang memiliki prospek untuk dikembangkan, dengan memperhitungkan prediksi potensi ekspor perikanan sebagai volume kargo rencana maka ditentukan tata letak terminal kargo yang memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan.

Kata Kunci: wilayah pesisir,bandar udara, pelayanan kargo udara, komoditas unggulan.






1.  Pendahuluan
Keberadaan bandar udara bukan hanya dinilai sebagai bagian dari fasilitas transportasi udara, suatu bandar udara dapat melayani kebutuhan moda transportasi udara dan memberi efek lanjutan sebagai penggerak perekonomian wilayah. Sejalan hal tersebut, pengaturan mengenai tatanan kebandarudaraan nasional telah diatur melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 69 Tahun 2013 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional yang diwujudkan dalam rangka penyelenggaraan bandar udara yang andal, terpadu, efisien serta mempunyai daya saing global, serta menunjang pembangunan dan perkembangan ekonomi wilayah. Arahan kebijakan sesuai peraturan ini memperjelas bahwa peran bandar udara tidak hanya sebagai simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hierarkinya tetapi juga sebagai pintu gerbang kegiatan perekonomian.
Kegiatan perdagangan melalui transportasi udara dan perkembangan ekonomi wilayah saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Transportasi udara memiliki nilai startegis bagi suatu wilayah terutama nilai ekonomisnya yang memberi tambahan kesejahteraan hidup bagi masyarakat. Nilai ekonomis ini membuat transportasi menjadi penting dan semakin membutuhkan berbagai macam kajian.
Kajian kesesuaian peran bandar udara dengan pemanfaatan pengembangan ruang wilayah belum menunjukkan pengaruh yang relevan terhadap perkembangan ekonomi wilayah secara nasional, dan ini perlu mendapat perhatian. Perkembangan suatu wilayah tergantung dari ketersediaan sarana dan prasarana transportasi, atau sebaliknya perkembangan transportasi suatu wilayah dipengaruhi oleh perkembangan kegiatan perdagangan dari masyarakat dalam wilayah tersebut. Pengembangan kegiatan dan jaringan transportasi suatu wilayah membutuhkan sinkronisasi untuk terciptanya keterpaduan ruangan (spasial intergration) secara menyeluruh dari sumber daya yang ada mulai dari hulu, pesisir, sampai dengan laut lepas serta keterpaduan antar kegiatan untuk pembangunan berkelanjutan.
Bandar Udara Maimun Saleh Sabang adalah salah satu bandar udara yang berada dalam dua perencanaan kawasan yaitu rencana tata ruang wilayah yang biasa dikenal dengan istilah tata ruang daratan dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang biasa dikenal dengan istilah tata ruang laut. Tatanan Kebandarudaraan Nasional menetapkan bandar udara ini sebagai bandar udara internasional sebagai pendukung keberadaan Sabang sebagai Pusat Kawasan Strategis Nasional (PKSN), kawasan perbatasan dan pulau-pulau terluar dan destinasi wisata nasional. Hal ini menjadikan bandar udara Maimun Saleh Sabang perlu dikembangkan sebagai pintu gerbang perekonomian dan mendukung perkembangan ekonomi wilayah sesuai dengan tata ruang daratan dan tata ruang laut.
1.1.  Rumusan Masalah
Transportasi udara yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan ekonomi wilayah menjadi tujuan dari Tataran Transportasi Nasional dan keberadaan bandar udara dalam mencapai tujuan tersebut perlu terus dievaluasi. Bandar Udara Maimun Saleh Sabang yang ditetapkan sebagai pintu gerbang perekonomian belum menunjukkan keterkaitan dengan pertumbuhan ekonomi wilayah, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk menentukan prioritas arah pengembangan dengan kriteria sebagai berikut: (1) Bagaimana mengembangkan potensi sektor unggulan dalam pengembangan ekonomi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui sinergisitas tata ruang daratan dengan tata ruang laut; (2) Bagaimana menentukan arah pengembangan bandar udara  untuk mendukung optimalisasi perannya sebagai pintu gerbang perekonomian.
Ruang lingkup penelitian ini meliputi tinjauan terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, rencana tata ruang wilayah Aceh dan peran bandar udara dalam mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah. Potensi sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan difokuskan pada komoditas unggulan yang menjadi  potensi sebagai dasar dalam pengembangan peran bandar udara.
1.2.Tujuan Penelitian
Pengoptimalan peran bandar udara dalam pemanfaatan potensi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil akan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Penelitian ini bertujuan merencanakan pengembangan fasilitas Bandar Udara Maimun Saleh Sabang untuk mendukung pelayanan bandar udara yang memenuhi standar keselamatan dan keamanan penerbangan dengan memperhitungkan kegiatan basis ekonomi unggulan sehingga terciptanya sinergisitas dalam perencanaan tata ruang daratan dan tata ruang laut.

2.  Tinjauan Pustaka
2.1.Rencana Tata Ruang Daratan
Tata ruang didefinisikan sebagai suatu proses kegiatan dalam rangka menata dan menyusun bentuk struktur dan pola pemanfaatan ruang secara efisien dan efektif. Tata ruang adalah wujud rencana struktur ruang dan pola ruang, struktur ruang merupakan susunan pusat-pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat secara hirarkhi yang memiliki hubungan fungsional.
Kegiatan-kegiatan ekonomi pada tata ruang terkonsentrasi secara umum di daerah perkotaan. Pusat-pusat kegiatan ekonomi pada perkotaan tersusun dan terstruktur secara hirarkis sesuai tingkat kegiatan, prasarana pendukung dan kemampuan berkembangnya. Selain terstruktur secara hirarkis kota-kota ini memiliki hubungan dan ketergantungan satu dengan yang lain (Sakti Adji Adisasmita, 2011).
Sistem jaringan transportasi merupakan prasarana utama pada struktur ruang wilayah. Jaringan transportasi menghubungkan antar pusat kegiatan yang mendorong berkembangnya kutub-kutub pertumbuhan wilayah ekonomi yang disebut conventional tree pattern/susunan pohon (Sakti Adji Adisasmita, 2011). Dalam jaringan transportasi susunan pohon dimaksud menggambarkan trayek atau rute pelayaran dan penerbangan dalam kombinasi trunk routes (rute utama) dan feeder routes (rute pengumpan).
2.2.Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menjelaskan bahwa penataan ruang wilayah nasional meliputi tidak hanya ruang darat tetapi juga ruang laut dan ruang udara yang diatur terpisah dengan undang-undang tersendiri. Penataan ruang laut diatur dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Hal ini mungkin tidak berlebihan mengingat Indonesia memiliki potensi/sumber daya wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan kelautan yang sangat tinggi. Perencanaan tata ruang laut ini bertujuan mengurangi konflik pemanfaatan ruang, menjamin ruang laut untuk keanekaragaman hayati dan konservasi hayati serta penggunaan sumber daya untuk produktivitas kegiatan perikanan serta sosial budaya masyarakat (Subandono Diposaptono, 2016).
Pembangunan nasional saat ini mengedepankan pemanfaatan sumber daya kelautan termasuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Perkembangan pertumbuhan ekonomi sektor kelautan di Indonesia terus meningkat walaupun masih mengalami berbagai kendala. Salah satu kendala yang paling mencolok adalah berbagai kegiatan tindakan ilegal penangkapan ikan di laut seperti pencurian ikan, bongkar muat ikan (transshipment) di tengah laut (Subandono Diposaptono, 2016). Namun demikian, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia menunjukkan produksi perikanan yang terus meningkat, data tahun 2015 memperlihatkan adanya peningkatan yang sangat tajam terutama pada subsektor perikanan budidaya seperti diperlihatkan pada tabel 1 dibawah ini.
Tabel.1 Produksi Perikanan Indonesia Menurut Subsektor (Ribu Ton)

       Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia 2015
Peningkatan dan pengendalian produksi perikanan diatur dalam suatu perencanaan tata ruang laut yang berupa dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Pemanfatan potensi perikanan diarahkan untuk mensejahterakan masyarakat dan bersentuhan langsung dengan rencana tata ruang daratan. Dalam hal ini, rencana struktur jaringan transportasi dan alokasi ruang diselaraskan, diserasikan dan diseimbangkan antara RTRW dengan RZWP3K. Struktur jaringan transportasi pada tata ruang daratan tidak hanya terfokus pada pengembangan sumber daya yang ada di daratan, tetapi juga mengutamakan pemanfaatan sumber daya kawasan pesisir secara terpadu.
2.3.Peran Bandar Udara untuk Pengembangan Ekonomi Wilayah
Berdasarkan Glasson J (1977), perekonomian wilayah dapat dibagi menjadi dua sektor, yaitu kegiatan basis dan kegiatan bukan basis. Kegiatan-kegiatan basis (basic activities) adalah kegiatan-kegiatan yang mengekspor barang dan jasa ke tempat di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan, atau yang memasarkan barang dan jasa kepada orang-orang yang datang dari luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Kegiatan-kegiatan bukan basis (non-basic activities) adalah kegiatan-kegiatan yang menyediakan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal di dalam batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan.
Pengaruh pertumbuhan kegiatan ekonomi dengan keberadaan bandar udara bagi suatu wilayah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain dampak langsung (Indirect Impact) dan dampak tidak langsung (Induced Impact), pengaruh tersebut dapat menjadi kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi wilayah. Peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah terutama terjadi dalam hal pertumbuhan perdagangan, pariwisata, hubungan langsung dengan negara lain dan peluang dunia usaha (Hadi Suharno, 2015). Dampak langsung adalah dampak yang dihasilkan dari kegiatan yang memiliki keterhubungan dengan berfungsinya bandar udara meliputi kegiatan perusahaan penerbangan, biro perjalan, perusahaan catering, perusahaan perawatan dan perbengkelan, biro jasa pengiriman barang, perusahaan property dan lain-lain. Dampak tidak langsung dihasilkan dari kegiatan yang memiliki keterkaitan dengan bandar udara.
Selain itu terdapat juga dampak ikutan dari adanya tambahan perputaran uang dari pengaruh adanya lapangan pekerjaan, meliputi hubungan antar sektor dari ekonomi regional, efek berantai terhadap perekonomian regional. Dampak katalis adalah bandar udara menjadi suatu daya tarik tersendiri terlepas dari kegiatan di bandar udara tetapi dari keuntungan layanan bandar udara. Wilayah pesisir berpeluang memanfaatkan prasarana bandar udara untuk mengembangkan komuditas unggulan.
Penentuan komoditas unggulan kawasan pesisir dimaksudkan dengan tujuan efisiensi dan peningkatan pendapatan daerah. Efisiensi bisa didapatkan dengan menggunakan komoditas yang memiliki keunggulan dan bersaing ditinjau dari penawaran dan permintaan (eksport) . Dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh kualitas dalam pertumbuhan pada kondisi biofisik, teknologi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang dapat meningkatkan pendapatan. Dari sisi permintaan, komoditas unggulan dicirikan oleh kuatnya  permintaan di pasar domestik maupun internasional (Dahuri R, 2000).
Komuditas unggulan dinilai melalui kegiatan yang merupakan basic activities dan non-basic activities sehingga dijadikan petunjuk adanya kelayakan suatu komoditas berpotensi untuk ekspor, Metode Location Quotient (LQ) paling lazim digunakan dalam studi-studi basis ekonomi. Teori LQ dipergunakan sebagai teknik yang mambantu dalam menentukan kasitas ekspor perekonomian wilayah dan derajat keswasembadaan (self-suffiency), pada intinya merupakan identifikasi kegitan-kegiatan basis yang menghasilkan komoditas unggulan untuk memenuhi kebutuhan di dalam daerah maupun untuk pasar di luar wilayah, dengan demikian penjualan dapat mendatangkan arus pendapatan ke dalam wilayah tersebut.
2.4.Tatanan Bandar Udara dan Pengembangan Angkutan Kargo Udara
Tatanan Kebandarudaraan Nasional didefinisikan sebagai sistem kebandarudaraan secara nasional yang menggambarkan perencanaan pengembangan bandar udara didasarkan atas beberapa factor pertimbangan yaitu rencana tata ruang wilayah, pertumbuhan ekonomi wilayah hinterlandnya, sektor ekonomi unggulan, kondisi alam dan geografi, keterpaduan intra dan antar moda transportasi, kelestarian lingkungan, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta keterpaduan dengan kegiatan pembangunan lainnya.
Tatanan Kebandarudaraan Nasional memberikan arahan dan pedoman bagi pengembangan bandar udara yang mengatur peran, fungsi, penggunaan, hierarkhi, dan klasifikasi penyelenggaraan operasional bandar udara. Mentetapkan peran masing-masing bandar udara. Peran yang ditetapkan tersebut yaitu simpul jaringan transportasi, pintu gerbang ekonomi, tempat alih moda, pendorong industri dan perdagangan, membuka isolasi wilayah dan memperkukuh wawasan nusantara. Dalam kaitannya sebagai sistem jaringan pelayanan, bandar udara dibedakan penggunaannya sebagai bandar udara internasional dan domestik, serta hierarkhi bandar udara sebagai pengumpul (hub) dan pengumpan (spoke). Lebih lanjut memperhatikan bahwa bandar udara berfungsi melayani kegiatan penerbangan yang menghubungkan antar bandar udara, maka pelayanan bandar udara harus dikelola secara kesisteman (Sakti Adji Adisasmita, 2014).
Pembangunan bandar udara dilengkapi rencana detail yang berpedoman pada rencana induk (masterplan) jangka panjang dan sesuai dengan kebutuhan pengembangan. Pelaksanaan pembangunan bandar udara memperhatikan beberapa aspek antara lain teknis, ekonomi finansial, transportasi udara, operasional, tata ruang dan lingkungan. Aspek tata ruang sangat terkait dengan penentuan lokasi, kebutuhan peruntukan lahan serta rencana pengembangan. Salah satu bahagian dari rencana pengembangan adalah peningkatan pelayanan kargo udara.
Pengembangan pelayanan kargo udara ditentukan oleh persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan, konsep tata ruang serta sistem operasi. Istialah Cargo atau Kargo  adalah semua barang (goods) yang dikirim melalui udara (pesawat terbang), laut (kapal), atau darat (truk container) yang biasanya untuk diperdagangkan, baik antar wilayah di dalam negeri maupun antar negara (internasional) yang dikenal dengan istilah ekspor-impor (Suharto Abdul Majid dan Eko Probo D. Warpani, 2014). Berdasarkan cara penanganannya, kargo dibagi ke dalam dua golongan besar, yaitu general cargo dan special cargo. General cargo adalah barang-barang kiriman biasa sehingga tidak memerlukan penanganan secara khusus, namun tetap harus memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan. Sedangkan jenis barang special cargo pada dasarnya dapat diangkut lewat angkutan udara dan harus memenuhi persyaratan dan penanganan secara khusus. Ruangan kargo pada bagian pesawat terbang yang digunakan untuk menyimpan barang penumpang maupun barang muatan (kiriman) harus tetap memperhatikan aspek-aspek keamanan dan keselamatan penerbangan (Desmond Hutagoal, 2013).
Standar teknis yang dipergunakan untk terminal kargo bandar udara memperhitungkan factor kompabilitas, fleksibelitas, ekspansibilitas dan aksesibilitas, serta pertimbangan terhadap Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan. Standar ini juga mengacu pada dasar-dasar perencanaan kargo yang meliputi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan, konsep tata ruang serta sistem operasi.
3.  Metodologi Penelitian
Upaya sinergisitas tata ruang daratan dengan tata ruang laut dilakukan dengan menganalisis regulasi dan kebijakan dalam bidang penataan ruang, transportasi dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, analisis ini diarahkan untuk mengevaluasi keterpaduan dalam rangka mendukung pengembangan ekonomi wilayah. selanjutnya Analisis LQ digunakan untuk menghitung potensi komoditas unggulan dari hasil pemanfaatan sumber daya alam pada kegiatan-kegiatan pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan dan pariwisata pada beberapa wilayah dan dapat diketahui wilayah mana yang paling potensi untuk produk-produk tertentu sehingga dapat ditetapkan sebagai wilayah basis atau non basis. Potensi internal yang dimiliki suatu wilayah dapat ditentukan dari kondisi basic activities dan non-basic activities. Pada dasarnya teknik ini menyajikan perbandingan relatif antara kemampuan satu kegiatan pada wilayah yang diselidiki dengan kemampuan kegiatan yang sama pada wilayah yang lebih luas. Perbandingan relatif ini dapat dinyatakan secara matematika sebagai berikut (Warpani, 2001) :
Dimana  :
LQ : Nilai Location Quotient
vi : Pendapatan sektor i disuatu wilayah
Vt : pendapan total wilayah tersebut
xi : Pendapatan sektor i sejenis secara regional/nasional
Xt : Pendapatan regional/nasional
Satuan yang dapat digunakan untuk menghasilkan koefisien dapat menggunakan satuan jumlah buruh, atau hasil produksi atau satuan lain yang dapat digunakan sebagai kriteria (Warpani, 2001). Asumsi untuk pola permintaan dan tingkat konsumsi suatu jenis barang dianggap rata-rata sama antar daerah, demikian juga produktivitas dan keperluan untuk produksi. Kriteria yang digunakan adalah LQ > 1, berarti merupakan basic activities, menunjukkan kegiatan tersebut basis yang memiliki prospek yang menguntungkan untuk dikembangkan (komoditi unggulan yang berpotensi ekspor) dan LQ < 1, berarti non-basic activities , kegiatan non basis kurang menguntungkan untuk dikembangkan serta belum memenuhi permintaan dalam daerah (sektor lokal/impor). Perhitungan laju pertumbuhan komoditi unggulan dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut :

Dimana :
R    =  Laju Pertumbuhan (ton)
Prt  = Produksi tahun terakhir (ton)
Pp  = Produksi tahun dasar (ton)
t    =  Selisih tahun terakhir dan tahun dasar

Tabel. 2 Perhitungan Luas Terminal Kargo

Sumber:Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. SKEP/77/VI/2005

Berdasarkan data pertumbuhan komoditi unggulan dapat diproyeksikan potensi ekspor, potensi tersebut dijadikan dasar sebagai volume kargo rencana dalam perhitungan kebutuhan luas fasilitas kargo yang diperlukan di bandar udara. Pendekatan konseptual berpedoman pada penyusunan tata letak, serta rancangan (design) masing-masing fasilitas bandar udara sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. SKEP/77/VI/2005. Perhitungan luas terminal kargo dilakukan dengan menggunakan persamaan seperti terlihat dalam tabel 2.
Bangunan terminal kargo bandar udara sebagai fasilitas yang digunakan untuk kegiatan bongkar muat barang (kargo) udara untuk memproses pengiriman dan peneriaan muatan udara baik domestik maupun internasional yang bertujuan untuk kelancaran proses kargo serta memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan, secara umum keamanan yang berkaitan dengan kargo meliputi tiga daerah pengamanan yaitu lahan parkir dan apron di terminal kargo, terminal kargo dan kargo. Agar memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan maka perhitungan kebutuhan lahan harus mengikuti koefisien volume kargo dan kedalaman standar seperti dalam tabel 3 berikut.
Tabel. 3 Koefisien Volume Kargo dan Kedalaman Standar


      Sumber: Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No.  SKEP/77/VI/2005

4.  Pembahasan
4.1.   Analisa Regulasi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Wilayah
Perencanaan pembangunan nasional berpijak pada pedoman perencanaan yang bersifat spasial dan non spasial. Secara spasial, instrumen perencanaan diatur dalam dua undang-undang terpisah yaitu Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-undang nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kedua peraturan ini memiliki batasan pemanfaatan wilayah yang berbeda, yaitu kawasan daratan dan kawasan pesisir serta pulau-pulau kecil. Kedua aturan tersebut dalam penjabarannya perlu memperhatikan keselarasan, keserasian dan keseimbangan.
Perencanaan pembangunan prasarana transportasi sangat dominan dipengaruhi oleh kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah. Berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, sistem jaringan transportasi merupakan prasarana utama dari struktur ruang wilayah. Pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki regulasi yang berbeda secara pemanfaatan ruang yang semestinya juga mendapat perhatian penting dalam perencanaan prasarana transportasi. Terdapatnya prasarana transportasi seperti bandar udara di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan memberi aspek pertimbangan tambahan bagi pengembanganbandar udara. Sudut pandang yang berbeda dari perencanaan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam melihat keberadaan bandar udara akan memberi pemahaman yang komprehensif dalam peningkatan peran.
Kelemahan saat ini, peran bandar udara yang terdapat di wilayah pesisir biasanya memberi pemahaman bahwa potensi yang ada hanya berasal dari wilayah daratan. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) merupakan regulasi yang mengatur penggunaan ruang spasial bagi wilayah pesisir dan pulau pulau kecil, dengan salah satu tujuannya adalah peningkatan perekonomian wilayah tersebut. RZWP3K bermaksud mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis maritim melalui pemanfaatan sumber daya yang tersedia. Bandar udara yang berperan sebagai pintu gerbang ekonomi akan lebih optimal dengan memberi dukungan terhadap perekonomian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kurang berperannya Bandara Maimun Saleh menunjukkan indikasi kurangnya keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara pengembangan zonasi wilayah pesisir di Kota Sabang dan Pengembangan struktur ruang wilayah daratan. Upaya menyelaraskan, menyerasikan dan menyeimbangkan dapat dilakukan melalui mengadopsi pola ruang dan struktur ruang daratan ke dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, menyerasikan alokasi ruang perairan yang bersinggungan dengan rencana tata ruang daratan.
Provinsi Aceh saat ini sedang menyelesaikan draf rancangan RZWP3K. Tinjauan pada draf rancangan RZWP3K Aceh (2014), dapat diketahui bahwa Kota Sabang diarahkan untuk dapat mengalokasikan ruang bagi Kawasan Industri yang terkait dengan perikanan yang terdiri atas: industri pengolahan produk perikanan, kapal tradisional, bengkel/docking dan pergudangan, dan tipe pelabuhan perikanan yang diarahkan adalah Pelabuhan Perikanan Pantai. Arahan kebijakan tersebut jelas memberi perhatian lebih terhadap industri perikanan. Tinjauan terhadap Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRWA menunjukkan tidak adanya arahan alokasi ruang bagi pemanfaataan industri perikanan di Kota Sabang, dan arahan hanya pada pengembangan industri galangan kapal. Dapat disimpulkan bahwa, masih terdapat kelemahan secara umum dalam keselarasan, kesesuaian dan keseimbangan antara RTRWA dan Draf Rancangan RZWP3K Aceh dimana secara struktur ruang peningkatan peran dari bandar udara Maimun Saleh akan terhambat.
Bandar Udara Maimun Saleh walaupun telah ditetapkan sebagai Bandar Udara Internasional, akan tetapi operasional bandar udara tersebut masih terbilang sangat sedikit. Sebagai gerbang ekonomi, bandar udara tersebut belum dimanfaatkan sebagai sarana angkut barang/kargo. Bandar Udara Maimun Saleh telah memiliki landasan sepanjang 1850 x 30 M, dengan luas Appron sebesar 140 x 90 M dan mampu didarati oleh pesawat sejenis Fokker 27 dan terminal yang tersedia adalah hanya terminal Domestik seluas 1600 M2, secara umum masih sangat kecil volume operasional penerbangan sipil yang berjalan di bandar udara ini.
Kerjasama subregional Indonesia - Malaysia - Thailand Growth Triangle (IMT-GT) yang dibentuk pada tahun 1993 semestinya memberikan peluang bagi peningkatan peran bandar udara Maimun Saleh. IMT-GT membentuk kerjasama untuk penguatan ekonomi antar tiga negara yang melibatkan beberapa provinsi di masing-masing negara anggota. Salah satu koridor ekonomi yang potensial di kawasan selat malaka adalah Koridor V yang menghubungkan antara Ranong (Thailand) - Phuket (Thailand) - Aceh (Indonesia). Strategi pengembangan wilayah tertuang dalam Impelementation Blueprint (IB) 2012 – 2016, antara lain rencana pengembangan angkutan udara (air lingkages) antara kedua kawasan. Provinsi Aceh dalam beberapa konferensi telah mengajukan usulan baru yaitu pembukaan rute penerbangan dari Phuket/Krabi – Sabang (Bandar Udara Maimun Saleh). Pembukaan rute penerbangan ini diharapkan akan mampu mendorong perekonomian wilayah Sabang.
Perhitungan terhadap kegiatan perekonomian unggulan Kota Sabang dengan menggunakan metode LQ yang berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar perubahan harga diperoleh kegiatan pariwisata pada  tahun 2011 cenderung mempunyai konstribusi terhadap basic activities sebesar 1,57, selanjutnya adalah kegiatan perikanan sebesar 1,46. Pada tahun 2012 sampai tahun 2013 kegiatan perikanan cenderung menurun hal ini disebabkan fasilitas sarana dan prasarana yang kurang memadai, sedangkan pada tahun 2014 sampai 2015  kegiatan pariwisata di kota sabang lebih stagnan sebesar 1,66 dan diikuti oleh kegiatan perikanan sebesar 1,38 artinya produksi kegiatan perikanan di Kota Sabang merupakan basic activities seperti diperlihatkan pada tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4.  Perhitungan LQ Kegiatan Perekonomian  Kota Sabang

         Sumber : Hasil Analisa (Badan Pusat Stastistik Provinsi Aceh, 2016)

Perencanaan tata ruang daratan belum sepenuhnya mengikuti fokus dari tata ruang di pesisir, zonasi wilayah pesisir diarahkan untuk menyatukan kegiatan-kegiatan yang sinergis dan saling mendukung serta memilah kegiatan yang bertentangan (imcompatibel). Pada wilayah yang telah ditetapkan maka perlu diprioritaskan pengembangan prasarana pendukung kegiatan-kegiatan yang mendorong perekonomian wilayah pesisir tersebut. Kegiatan perikanan sesuai analisis diperoleh nilai LQ > 1, dengan demikian kegiatan perikanan memiliki prospek untuk dikembangkan sebagai komoditi ekspor melalui bandar udara.
Pembangunan ekonomi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memerlukan arah kebijakan dan solusi yang lebih komprehensif terhadap permasalahan perikanan, menghidupkan industri pengolahan dalam negeri bisa dilakukan dengan membangun lebih banyak gudang pendingin, pemberdayaan koperasi dan pengusaha lokal. Pengembangan bandar udara untuk mengangkut produksi perikanan langsung ke negara pembeli harus menjadi prioritas, disebabkan minimnya jumlah gudang pendingin dan tidak tersedianya prasarana pelayanan kargo dijadikan dalih oleh pengusaha untuk melakukan transshipment (Majalah Tempo, 4 -10 April 2016).
Provinsi Aceh belum memiliki Bandar Udara yang fokus pada ekspor kargo perikanan, rencana pengelolaan dan pengembangan kegiatan perikanan Aceh sesuai Rencana Induk Pelabuhan Perikanan Aceh ditetapkan dalam dua wilayah pengelolaan yang mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.01/MEN/2009 Tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yaitu Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yaitu WPP-RI 571 dan WPP-RI 572. Bandar Udara Maimun Saleh dapat menjadi HUB kegiatan ekspor perikanan dengan memanfaatkan potensi perikanan pada dua bahagian wilayah tersebut sebagaimana gambar 1 berikut:




  
  Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh

Gambar. 1 Wilayah Pengelolaan Perikanan

4.2. Produksi Perikanan 
Kegiatan Perikanan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki kelebihan untuk dapat dijadikan kegiatan unggulan (leading sector) atau basis bagi peningkatan ekonomi suatu wilayah. Karakteristik unggulan kegiatan perikanan antara lain menyerap sumber daya manusia, penghasil devisa, mampu meningkatkan pertumbuhan investasi serta penyerapan modal, bersifat forward and backward linkages atas potensi yang ada.
Rencana Induk Perikanan Aceh menyebutkan bahwa secara geografis Provinsi Aceh terletak pada pertemuan antara Selat Malaka dan Andaman serta Samudera Hindia yang  memiliki potensi perikanan tangkap sebesar 220.090 ton dan ZEE sebesar 203.320 ton, sedangkan potensi lestari atau maksimum sustainanble yield (MSY) perairan teritorial dan kepulauan diperkirakan sebesar 110.045 ton dan ZEE sebesar 162.656 ton, sedang tingkat pemanfaatan keseluruhan mencapai 142.697,4 ton atau 52,33% (tahun 2010), sehingga terdapat peluang pengembangan sebesar 47,67%.
Perkiraan proyeksi perikanan untuk periode jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang berdasarkan series data produksi tahun 2010 – 2014. Pada tahap awal dengan memperkirakan jumlah penduduk yang mencakup Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP-RI 571) merupakan wilayah timur yang mencakup perairan selat malaka dan andaman, sedangkan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP-RI 572) yang merupakan bagian barat mencakup Samudera Hindia. Selanjutnya analisa tingkat konsumsi perikanan perkapita untuk masyarakat provinsi Aceh dihitung dengan metode perhitungan konsumsi ikan berdasarkan ketersediaan ikan yang dipublikasikan oleh Food and Agriculture Organization of the United Nation dalam The State of World Fisheries and Agriculture tahun 2014 dan skenario pertumbuhan kegiatan perikanan didasarkan pada besaran prosentase laju pertumbuhan.
Potensi kegiatan perikanan untuk WPP-RI 571 yang mempunyai potensi ekspor ikan cukup besar yaitu Kabupaten Aceh Timur sebesar 10.308,00 ton/tahun dengan tingkat konsumsi sebesar 16.298,88 ton/tahun, diikuti Kota Langsa dengan tingkat potensi ekspor sebesar 6.697,7 ton/tahun dan tingkat konsumsi sebesar 6.719,33 ton/tahun. Wilayah dengan tingkat konsumsi yang rendah diartikan sebagai wilayah yang mampu mencukupi kebutuhan ikan dengan produksinya. Tingkat konsumsi terendah ada di Kota Sabang sebesar 1.351,14 ton/tahun sehingga memiliki potensi ekspor sebesar 6.003,3 ton/tahun.
Tabel 5.  Potensi Perikanan pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP-RI 571)

         Sumber : Hasil olahan (Badan Pusat Stastistik Provinsi Aceh, 2015 dan Rencana Induk      
                           Pelabuhan Perikanan Satker Dinas Kelautan dan Perikanan, 2012)

Wilayah pengelolaan perikanan RI 572 yaitu Kabupaten Aceh Barat mempunyai potensi eksport perikanan sebesar 5.689,3 ton/tahun dengan tingkat konsumsi sebesar 7.850,54 ton/tahun, wilayah tersebut mampu mencukupi kebutuhan, kondisi ini sama halnya kabupaten Aceh Barat Daya dengan potensi ekspor 4.974,4 ton/tahun dengan tingkat konsumsi sebesar 5.701,04 ton/tahun dan Kabupaten Aceh Selatan sebesar 3.814,6 ton/tahun. Wilayah dengan tingkat konsumsi yang tinggi dan potensi ekspor yang lebih rendah yaitu di Kabupaten Aceh Besar dan Banda Aceh, hal ini ditandai dengan pertumbuhan penduduk yang lebih besar dibandingkan kabupaten/kota di wilayah tersebut.
Tabel 6. Potensi Perikanan pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP-RI 572)

      Sumber : Hasil olahan (Badan Pusat Stastistik Provinsi Aceh, 2015 dan Rencana Induk                 
                     Pelabuhan Perikanan Satker Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, 2012)

     Laju pertumbuhan kegiatan perikanan pada WPP-RI 571 cukup berfluktuasi dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014, kecenderungan perubahan terjadi pada tahun 2013 sebesar 10,041 ton/tahun naik dari tahun sebelumnya 3.739 ton/tahun, sedangkan pada tahun 2014 naik menjadi produksi 10,260 ton/tahun.
Tabel 7. Prediksi Perikanan pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP-RI 571)
Tahun 2010-2014

        Sumber : Hasil olahan (Badan Pusat Stastistik Provinsi Aceh, 2015 dan Rencana Induk        
              Pelabuhan Perikanan Satker Dinas Kelautan dan Perikanan, 2012)

     Bila dibandingkan dengan WPP-RI 572) yaitu wilayah Barat Provinsi Aceh jauh lebih rendah dan sangat berfluktuatif disebabkan terbatasnya sarana dan prasarana. Pada Tahun 2012 terjadi penurunan potensi ekspor dari tahun sebelumnya sebesar 248 ton/tahun, sedangkan tahun 2013 terjadi kenaikan sebesar 3.438 ton/tahun dan tahun 2014 sebesar 6.669 ton/tahun
Tabel 8. Prediksi Perikanan pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP-RI 572)
Tahun 2010-2014

       Sumber : Hasil olahan (Badan Pusat Stastistik Provinsi Aceh, 2015 dan Rencana Induk
            Pelabuhan Perikanan Satker Dinas Kelautan dan Perikanan, 2012)  Skenario pertumbuhan pada gambar 2 diperkirakan berdasarkan proyeksi pertumbuhan maksimum potensi ekspor perikanan tangkap dan budidaya dapat mencapai 35.632,8 ton/tahun pada tahun 2025, dengan tingkat pertumbuhan 7%/tahun sedangkan pada pada kondisi moderat pada tahun yang sama mencapai 27.473,5 ton/tahun dengan tingkat pertumbuhan 4,5%/tahun dan 19.941,4 ton/tahun pada kondisi pesimistik dengan pertubuhan terendah senilai 1,5%/tahun.
Gambar 2. Proyeksi Pertumbuhan Ekspor Perikanan Tangkap dan Budidaya

Kenaikan tersebut dapat menjadi lebih siginifikan bila dibandingkan prospek pemasaran yang cukup baik, hal tersebut dikarenakan : (1) Peningkatan konsumsi ikan nasional sangat ditentukan oleh  pertambahan penduduk, pola konsumsi, tingkat pendapatan, tingkat harga di pasaran; (2) Kapasitas suplai yang besar akibat dari jumlah permintaan yang meningkat didukung dengan ketersediaan sistem pengemasan/pengepakan dan pengiriman; (3) Produksi perikanan merupakan sifat yang dapat diperbaharui, sehingga mendukung pembangunan yang berkelanjutan; (4) Mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, baik dari hulu maupun ke hilir.
4.3.Pelayanan Kargo Udara dalam Mendukung Ekspor Produksi Perikanan
Konsep tata ruang fasilitas bandar udara harus memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan agar dapat beroperasi sesuai fungsinya. Secara fungsional terminal kargo mempunyai konsep ruang konversi, penyortiran, penyimpanan dan pemeriksaan. Fungsi konversi untuk menampung pertukaran moda dari sisi darat ke sisi udara atau sebaliknya dalam rangka penanganan kargo, penyotiran merupakan pemisahan muatan-muatan kargo berdasarkan tujuan, penyimpanan berfungsi untuk keperluan kargo yang mempunyai waktu simpan maksimal serta fungsi pemeriksaan sebagai akibat adanya pemindahan bahan kargo dari moda transportasi darat ke moda transportasi udara atau sebaliknya yang membutuhkan kelengkapan administrasi yang terkait fungsi Pemerintahan.
Proses pengiriman dan penerimaan muatan udara dilaksanakan dengan memanfaatkan fungsi terminal kargo, kebutuhan luas area sisi darat dan sisi udara terminal kargo dapat dihitung dengan menggunakan pedoman fasilitas terminal kargo. Berdasarkan prediksi hasil perikanan pada tahun 2025 diperoleh potensi ekspor perikanan Aceh, maka volume rencana kargo yang digunakan adalah proyeksi pada kondisi optimis sejumlah 35.632,8 ton/tahun. Penggunaan kondisi optimis dengan pertimbangan bahwa potensi yang sangat besar pada kegiatan perikanan dan tersedianya rencana induk pengembangan, potensi yang paling besar adalah memperhatikan kondisi alam dengan mengembangkan kegiatan perikanan budidaya.
Penentuan tata letak terminal kargo mempunyai konsep ruang yang menampung pertukaran moda dari darat ke sisi udara atau sebaliknya dalam rangka penanganan kargo, pemisahan muatan kargo berdasarkan tujuan, penyimpanan kargo dan fungsi pemeriksaan. Tata letak dipengaruhi sistem sirkulasi kargo mulai dari proses pemuatan/penurunan kargo antara pesawat terbang kargo dan pesawat terbang kombinasi (penumpang dan kargo) harus dipisahkan. Sirkulasi kargo dari pesawat ke terminal kargo dan sebaliknya harus lancar dan melalui rute terpendek, selain itu akses menuju terminal kargo baik dari apron maupun sisi darat harus langsung dan nyaman. Halangan yang bersifat fisik diantara proses ekpor dan impor sedapat mungkin dihindari, dengan menggunakan peta tata ruang Kota Sabang dan informasi fasilitas yang tersedia di Bandar Udara Maimun Saleh Sabang dilakukan pembuatan data geospasial bandar udara untuk menentukan titik koordinat pada citra satelit sehingga dapat ditentukan tata letak arah pengembangan terminal kargo sesuai gambar 3 berikut.



Gambar. 3 Pengembangan Kargo Bandar Udara Maimun Saleh Sabang

Berdasarkan Persyaratan Teknis Pengoperasian Fasilitas Teknik Bandar Udara yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor: SKEP/77/VI/2005, penentuan bentuk terminal kargo yang memiliki volume kargo rencana lebih besar dari 10.000 ton/tahun harus direncanakan secara terpisah dari fasilitas terminal penumpang. Hasil perhitungan setelah melakukan interpolasi terhadap nilai Unit Luasan Gedung maka diperoleh kebutuhan luas total terminal kargo seluas 16.471 m2, dengan rincian luas gudang airline  2.534 m2, luas gudang agen kargo 1.267 m2, luas area sisi darat 10.136 m2 dan luas area sisi udara 2.534 m2. Khusus luas area sisi darat masih menggunakan kedalaman standar maksimum 40 meter.
Rencana pengembangan terminal kargo yang terpisah dari Terminal penumpang membutuhkan ketersedian jalur GSE (Ground Support Equipment) bagi keselamatan dan keamanan penerbangan. Jalur GSE merupakan area yang disediakan sebagai tempat lalu lintas pergerakan peralatan penunjang pendaratan pesawat udara dan penerbangan yang terletak diantara apron dan teminal. Dengan mempertimbangkan hasil perhitungan volume kargo yang lebih besar dari 10.000 ton/tahun, maka kedalaman standar sisi udara adalah sebesar 10 meter, oleh sebab itu rencana jalur GSE pada pengembangan Terminal Kargo Bandar Udara Maimun Saleh harus diperhitungkan. Pertimbangan terinci jalur GSE dapat dilakukan dalam Detail Design, untuk keperluan tersebut membutuhkan pengukuran topografi secara akurat, tata letak terminal kargo Bandar Udara Maimun Saleh Sabang diperlihatkan pada gambar 4 berikut.

Gambar. 4 Tata Letak Terminal Kargo



Jalur GSE sangat bergantung pada jenis pesawat yang akan dilayani, penilaian kelayakan operasional meliputi panjang dan lebar (dimension), kemiringan memanjang (Longitudinal slope), kemiringan melintang (Transverse Slope), jenis perkerasan (Surface Type), dan kekuatan (Strength) landasan dan apron. Aspek keselamatan dan keamanan pada jalur GSE bertujuan untuk mengatur pengoperasian proses loading/unloading kargo dari dan menuju pesawat udara dengan menghindari adanya kecelakaan dan kerusakan barang kargo.

5.   Kesimpulan dan Saran
5.1.      Kesimpulan
a.     Sinergisitas tata ruang daratan dan tata ruang laut dalam berbagai sektor dan administrasi pemerintahan akan mampu mengembangkan ekonomi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan mempertimbangkan komoditi unggulan pada suatu wilayah. Program kerjasama IMT-GT yang merencanakan pembukaan rute penerbangan dari Phuket/Krabi (Thailand) - Sabang (Indonesia) dan Langkawi (Malaysia) - Sabang (Indonesia) dapat menjadi peluang untuk mengoptimalkan peran bandar udara sebagai pintu gerbang perekonomian
b.     Berdasarkan analisis LQ kegiatan perikanan wilayah sabang merupakan kegiatan basis (basic activities) yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai komoditi ekspor. Produksi perikanan tangkap dan budidaya dalam wilayah Aceh masih memiliki peluang yang sangat besar sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi wilayah.
c.     Peningkatan peran Bandar Udara Maimun Saleh Sabang dapat diarahkan dengan menetapkan prioritas pengembangan angkutan udara kargo dengan komoditas unggulan berupa produksi perikanan. Hasil perhitungan prediksi volume rencana kargo menunjukkan bahwa pengembangan bentuk terminal kargo Bandar Udara Maimun Saleh Sabang harus direncanakan terpisah dari fasilitas terminal penumpang, hasil identifikasi menunjukkan masih tersedia lahan yang cukup untuk keperluan pengembangan tersebut. Dalam pengembangan terminal kargo, tetap memperhatikan aspek keamanan dan keselamatan penerbangan.

5.2.      Saran
a.     Praturan Menteri Perhubungan Nomor 69 Tahun 2013 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional seharusnya juga memasukkan pertimbangan terhadap tata ruang laut untuk bandar udara yang mendukung pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hirarkhie terhadap prasarana bandar udara dan pengembangan jaringan kargo udara semestinya juga mendapat perhatian dalam penyusunan Tatanan Kebandarudaraan Nasional.
b.     Pengembangan produksi perikanan tangkap dan budidaya di wilayah Aceh dapat dijadikan prioritas untuk meningkatkan perekonomian. Perlu dilakukan studi detail kebutuhan ekspor hasil perikanan untuk mendukung program kerjasama regional.
Adanya kemungkinan kombinasi kegiatan ekspor perikanan dengan kegiatan pariwisata sebagai penguatan peran bandar udara masih membutuhkan studi kelayakan ekonomi lebih lanjut.
c.     Tata letak dan sirkulasi serta peralatan penunjang pada area GSE di Bandar Udara Maimun Saleh Sabang perlu dilakukan detail engineering design sesuai rencana pengembangan angkutan kargo udara dengan komoditi ekspor perikanan.

Daftar Pustaka
_____________________________________, [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, 2015
Budiharsono S. 2005. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan.  Jakarta: PT Pradnya Paramitha.
Dahuri, R, 2000. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia.  Gramedia, Jakarta.
Desmond Hutagoal, 2013, Pengantar Penerbangan, Perspektif Profesional, Penerbit Erlangga, Jakarta
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh, Rencana Induk Pelabuhan Perikanan Aceh, 2013
Glasson J. 1977. Pengantar Perencanaan Regional. Sitohang P. Penerjemah.  Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Terjemahan dari Introduction of Regional Planning.
Gulo, W. 2005. Metodologi Penelitian. Cetakan 4. Jakarta. Grasindo
Hadi Suharno, 2015, Manajemen dan Perencanaan Bandar Udara, Rajawali Pers, Jakarta
Sakti Adji Adisasmita, 2011, Jaringan Transportasi, Teori dan Analisis, Graha Ilmu, Jakarta
Sakti Adji Adisasmita, 2014, Tataran Bandar Udara Nasional, Graha Ilmu, Jakarta
Subandono Diposaptono, 2016, Membangun Poros Maritim Dunia dalam Perspektif Tata Ruang Laut, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.
Suharto Abdul Majid dan Eko Probo D. Warpani,2014, Ground Handling, Manajemen Pelayanan Darat Perusahaan Penerbangan, Rajawali Pers, Jakarta
Warpani.S, 2001, Dasar-dasar Ekonomi Wilayah, Graha Ilmu, Yogyakarta